Kopi joss adalah identitas Yogyakarta. Tidak semata Garuda Indonesia yang melibatkan kopi ini sebagai salah satu item promosi Indonesia, namun beberapa barista Indonesia juga sudah membawa prosedur penyajian kopi ini ke gelanggang internasional sebagai the charcoal coffee.
Yang menarik, kopi joss sendiri bukanlah delikasi standar masyarakat Yogyakarta. Sebagian besar orang yang menikmati kopi ini justru berasal dari luar daerah, yang kebetulan sedang bersinggah. Bagi orang Jogja sendiri, entahlah, mungkin budaya ngeteh masih lebih kuat akarnya.
Kopi joss dicetuskan oleh Mbah Pairo pada medio 1950-an. Namun popularitas kopi ini justru diroketkan oleh anaknya, Siswo Raharjo atau yang lebih beken dengan nama Lek Man. Sekarang di pelipiran Stasiun Tugu, angkringan-angkringan kopi joss sudah gampang ditemukan.
Sebenarnya sih kopi tubruk biasa. Hanya saja yang namanya kopi joss ini disajikan dengan mencelupkan segumpal arang membara ke dalam kopinya. Arang menjadi kondimen tambahan, bukan untuk dimakan layaknya kerupuk atau dikunyah-kunyah. Kopi joss tidak berbahaya. Lagipula arang yang dipergunakan berasal dari kayu jati yang tidak dicerna oleh tubuh. Sudah ada penelitian dari Universitas Gadjah Mada perihal perkara ini, jadi jangan terlalu khawatir.
Malam ini saya nongkrong santai di salah satu angkringan kopi joss. Sementara teman-teman saya yang asli Jogja, seperti yang sudah-sudah, semua memilih ngeteh mawon.