Dendang musik riang memenuhi ruangan. Kental aroma kopi dan jahe samar-samar tercium di tiap-tiap sudut kafe. Lawatan anak muda ke Ambon belum tuntas kalau belum nongkrong di Sibu-Sibu, kelakar Pak Tauhid, si Ustadz Backpacker, lewat pesan singkat kepada saya siang tadi.
Mungkin karena Pak Tauhid, mungkin juga bukan, saya sekarang duduk di Sibu-Sibu. Norris menemani saya menyesap Kopi Rarobang, kopi signatur Ambon dengan aroma rempah-rempah yang kuat. Rarobang diracik dengan campuran yang unik antara kopi, jahe, cengkeh, kayu manis, daun pandan, hingga taburan biji kenari yang telah disangrai. Rasa pahit kopinya berbaur dengan pedas rempah-rempah dan gurih biji kenari yang aromanya semerbak. Begitu unik.
“Sibu-sibu dalam Bahasa Maluku artinya sepoi-sepoi. Seperti angin,” terang Norris. Meskipun sebenarnya dapat juga diartikan sebagai tempat leyeh-leyeh, rumah pelepas suntuk bersama kolega.
Meskipun sepintas terlihat santai, obrolan di tempat ini tidaklah ringan. Perdebatan seru tentang politik senantiasa terdengar dari meja ke meja, mulai dari perkara lokal, regional, nasional, hingga ke urusan negara tetangga, Australia. Sebaliknya Norris dan saya tenggelam dalam diskusi musafir yang jauh lebih enteng, yaitu perihal festival kapal tahunan. Meskipun lambat laun akhirnya pembicaraan kami terseret ke dalam ranah politik juga.
“Saya suka Jokowi, sepertinya beliau lebih peduli dengan kita di timur,” kata Norris terkekeh. Saya hanya tersenyum. Bagi saya Kopi Rarobang saat itu lebih menarik daripada soalan pemilihan presiden.