Tumpukan roti jala di meja hotel Zuri Express itu menyita perhatian saya. Di sisinya tertulis “ragit”, entah apa itu. Berbekal pencarian singkat di internet, saya mendapati fakta bahwa ragit adalah salah satu makanan khas Kota Palembang. Menarik. Sebab selama ini saya belum pernah mendengar nama makanan ini sama sekali, dari sisi popularitas sudah barang tentu ragit kalah populer dari pempek, model, tekwan, atau bahkan mie celor.
Soal makanan, saya adalah petualang. Tidak butuh berpikir lama untuk mencoba.
Ragit adalah makanan khas Palembang yang banyak muncul pada bulan puasa. Di bulan-bulan lainnya, sangat sulit mencari makanan ini, terkecuali mungkin di hotel-hotel yang memang melayani tamu dari luar kota seperti ini. Adapun ragit sendiri rasa-rasanya menerima pengaruh kuat dari delikasi India.
Wujudnya mirip seperti roti jala, atau roti canai berbentuk segitiga dengan lubang-lubang di permukaannya. Untuk menyantap ragit biasanya dipadukan dengan kuah kari yang menyengat. Rasanya gurih dan pedas, khas masakan dari Asia Selatan yang berbaur dengan cita rasa Melayu yang kental.
Palembang adalah kota kaya kuliner. Popularitas luar biasa dari pempek sebenarnya secara tidak langsung membuat kuliner-kuliner lain jadi kalah populer dan menjadi sebatas delikasi medioker. Padahal soal cita rasa tidaklah demikian, sebutlah mie celor dan ragit ternyata tidak kalah enak dibanding pempek atau tekwan.
Bicara soal kuliner semenjana, Sumatera Selatan juga punya Kopi Semendo. Kopi Semendo adalah istilah yang merujuk pada kopi robusta yang dihasilkan dari kawasan Bukit Barisan Selatan. Secara popularitas nasional, kopi ini nyaris tidak terdengar. Apalagi jika dibandingkan dengan kopi-kopi dari Toraja, Kintamani, atau Gayo. Bahkan secara regional pun, Kopi Semendo boleh dibilang masih kalah populer daripada Kopi Basemah yang dihasilkan di Kota Pagaralam.
Siang itu pun kami harus blusukan ke Pasar 16 Ilir untuk mendapatkan satu kantong Kopi Semendo. Untuk satu sak seukuran genggaman tangan harganya bervariasi antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000 bergantung pada kualitas kopinya dan seberapa sinting penjualnya mamasang harga. Dalam kesempatan kemarin Khairi membeli satu paket kecil dari sebuah kios di tepi pasar untuk oleh-oleh.
Jangan salah. Meskipun popularitas Kopi Semendo boleh dibilang masih samar-sama, konon robusta ini justru merupakan favorit dari Ratu Yuliana di Belanda pada era kolonialisme. Pada waktu itu sang ratu kerap meminta Kopi Semendo dikirimkan ke istana. Menarik, bukan?