Duduklah saya bersama Rudy pada ambang warung berdinding kayu. Antara kami dengan jurang yang terbentang luas hanya terpisahkan oleh sebidang papan lapuk. Warung kopi kecil di Buntu Sesean ini menjadi puncak perjalanan kami menyusuri pesisir utara Toraja yang permai.
“Kopi yang terkenal di Toraja itu suka disebut Kalosi,” terang saya kepada Rudy, “Sebenarnya itu adalah sebuah nama yang keliru atau salah kaprah.”
“Kenapa begitu?” tanya Rudy balik.
“Kalosi adalah nama sebuah daerah di Kabupaten Enrekang,” jawab saya, “Nama Kopi Kalosi Toraja itu karena kopi Toraja dijual lewat pedagang-pedagang di Kalosi. Jadilah namanya seperti itu. Jadi kalau kita minum di sini ya namanya cukup Kopi Toraja saja, tanpa Kalosi.”
Diskusi tentang dunia perkopian sore itu melebar jauh. Tidak hanya bicara perihal Toraja, kami bahkan berdiskusi mendalam perihal Mamasa, daerah tetangga Toraja yang merupakan penghasil kopi kelas dunia namun bernasib kurang baik di dalam pemasarannya.
Sore itu Buntu Sesean nampak teduh. Matahari yang sedari tadi bersinar cerah sudah miring jauh di barat sana, terhalang oleh arak-arakan awan tebal yang menempel pucuk-pucuk bukit. Bagi kami, Buntu Sesean adalah penutup yang sempurna bagi perjalanan ke Tana Toraja.