Tersuratlah namanya dalam Kitab Negarakertagama. Inilah Bau-Bau, wilayah paling dominan sepanjang rangkum sejarah Sulawesi Tenggara. Di naungan panji-panji Kesultanan Wolio, ia dikenal sebagai negeri petilasan para resi. Di lingkup republik, ia adalah kota yang makmur di jazirah tenggara Sulawesi.
Delapan abad telah terlewati semenjak Mia Patamiana, empat tokoh, menjejakkan kakinya di tanah ini dari negeri yang jauh. Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijangkawati bersinggah di sini, membangun peradaban Wolio yang kini bertransformasi menjadi Buton. Saat ini Buton tumbuh menjadi daerah yang sejahtera dengan Bau-Bau sebagai episenternya.
Goyangan ringan kapal motor yang mesinnya baru saja dimatikan terasa selaras dengan kesunyian senja yang samar-samar. Matahari perlahan melesak ke ambang laut, bertepatan dengan akhir perjalanan kami dari Raha. Bagi Rudy dan saya, ini adalah kunjungan pertama ke Tanah Buton.
Yinda yindamo arata somanamo karo,
Yinda yindamo karo somanamo lipu,
Yinda yindamo karo somanamo sara,
Yinda yindamo karo sara somanamo agama.
Kota ini pernah, dan selalu, dominan di Sulawesi Tenggara. Selama delapan abad, Bau-Bau selalu menjadi jantung peradaban Sulawesi Tenggara. Barulah ketika republik memutuskan untuk membentuk sebuah provinsi, sejarah tercatat. Lokasi Bau-Bau yang lepas dari daratan Sulawesi, dikhawatirkan menyulitkan pembangunan maka dipilihlah kota lain untuk menggantikannya. Untuk pertama kalinya, Bau-Bau harus menyerahkan tongkat komando kepada Kendari.
Namun bicara ihwal pembangunan, Bau-Bau tidak lantas meredup. Kota ini tetap berlari kencang, bahkan dalam beberapa aspek masyarakatnya lebih dinamis daripada Kendari.
Rudy mempercepat langkahnya menyusuri dermaga Murhum. Saya mengikutinya sambil menggendong ransel berukuran raksasa. Misi kami di kota yang sama sekali belum kami kenal hanya satu, menemukan penginapan untuk bernaung pada malam ini. Soalan penjelajahan dan lain-lain biarlah kami pikirkan usai kami menemukan tempat singgah.