“Empat penari membikin hati
menjadi senang, aduh,
Sungguh kayanya tari mereka
Gambang Semarang.”
Ia adalah pernyataan artistik sejati dari benci tapi rindu. Di sudut kafe sempit itu, dendang Gambang Semarang mengalun rancak menyesaki ruangan yang dipisahkan oleh sebilah kaca dengan hiruk pikuk Kota Lama. Adalah Eoi Yok Siang, sosok di balik lagu nasional ini, yang menurunkannya dari aransemen gambang kromong, sebuah akulturasi klasik dari budaya Tionghoa, Betawi, Melayu, dan Batak.
Demikianlah Kota Semarang memang selalu kosmopolitan. Pada masa pendudukan Belanda, bandar Semarang merupakan kota pelabuhan nomor satu di nusantara. Di sinilah barang hasil bumi dari kebun-kebun Indonesia diangkut melalui kapal-kapal niagawan mengawali perjalanan panjang menuju dapur-dapur di Eropa. Peranan utama sebagai gerbang utara Pulau Jawa memahat raut kosmpolitan kota ini, di mana masyarakat dari berbagai etnis, agama, bangsa, dan bahasa melebur dalam meriahnya arena jual beli.
Meskipun pada kemudian hari Tanjung Emas redup di bayang kibaran bandar Jakarta dan Surabaya, Semarang masih menyimpan rapat-rapat pesona klasiknya di tanah ini. Gores-gores pena Tome Pires dalam Suma Oriental mengisahkan kota yang dikunjunginya ini sebagai yang terbaik di Pulau Jawa dengan jalan-jalan raya nan lapang dan barisan pohon kenari tumbuh di sisinya.
Saya berjalan kaki meninggalkan kafe kecil itu menyusuri lorong-lorong sepi Kota Lama. Kawasan ini dijuga dibelah oleh sepenggal De Groote Postweg, Jalan Raya Pos, yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1809 membentang dari Anyer pada ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di ujung timur. Pada sisinya terdapat sebuah jalan yang kini dinamai Jalan Cendrawasih. Dahulu kala, di kawasan ini pernah berdiri Marabunta, sebuah gedung opera megah yang menjadi sentra kesenian bagi orang-orang Belanda.
Adapun landmark utama Kota Lama Semarang saat ini justru adalah Gereja Blenduk. Sebuah gereja kecil yang dibangun oleh Pendeta Johannes Lipsus sekitar tiga abad silam. Kini gereja tersebut masih berdiri bersebelahan dengan Taman Srigunting dan menjalankan fungsi ganda, sebagai rumah ibadah dan sebagai background foto anak-anak muda.
Saya mengakhiri perjalanan siang pada sebuah pertigaan kecil, tepat di sebelah Gedung Spiegel yang kini bagian dalamnya sudah berubah menjadi sebuah kafe. Menyusuri jalanan Kota Lama dapat dengan mudah membawa kita membayangkan masa-masa kejayaan bandar Semarang, kala bandar cantik ini masih menjadi sentra utama perdagangan Pulau Jawa.
Waktu tidak terlampau ramah kepada Kota Lama. Selama bertahun-tahun bangunan-bangunan tua di kawasan ini dibiarkan begitu saja hingga banyak yang nyaris rubuh. Baru beberapa tahun belakangan perbaikan besar-besaran dimulai oleh pemerintah, dibantu oleh beberapa badan usaha seperti Bank Mandiri dan PT. Kereta Api Indonesia. Besar harapan saya untuk melihat kawasan ini tetap lestari. Semoga saja.