Selepas Kota Pangkalan Bun

Hanya sekejap setelah pesawat kecil itu melantai di landasan, hembusan panas kota berpenduduk dua ratus ribu jiwa ini menyesaki udara siang. Bagi kami berdelapan, justru cuaca semacam inilah sambutan terbaik yang dapat diberikan Pangkalan Bun menjelang penjelajahan Taman Nasional Tanjung Puting.

Nama kota Pangkalan Bun mendadak tenar pasca peristiwa Air Asia. Musibah kambuhan yang acapkali mewarnai dunia penerbangan kita itu menghentakkan goncangan domino ke seantero arkipelago, mulai dari dihapuskannya tiket promo penerbangan hingga angka penjualan ikan yang mendadak anjlok.

“Minumlah dari Sungai Arut, niscaya kamu akan kembali lagi ke kota ini,” terang Pak Syafrie yang berdiri bersama saya di tepi dermaga. Saya hanya terdiam menatapi air sungai yang berwarna coklat seperti teh sarapan Inggris yang salah bikin. Keputusannya, saya tidak cukup ekstrim untuk meminumnya.

Pangkalan Bun memang bukanlah kota besar, namun secara regional ini adalah kota terpenting kedua di Kalimantan Tengah setelah Palangkaraya, bersaing dengan kota Sampit. Di kota ini transportasi kardinal rakyatnya adalah klothok sejenis kapal kayu bermotor yang berlantai dua. Singkatnya, rumah terapung.

Kami berdelapan menaiki dek klothok yang terombang-ambing di tepi dermaga. Sementara beberapa kru kapal nampak sibuk memompa bahan bakar dan mengangkut logistik untuk masuk ke dalam klothok. Di pelataran kapal inilah kami akan menghabiskan tiga hari dua malam ke depan, menyusuri relung-relung pedalaman Tanjung Puting.

“Aku gak nyangka kapalnya besar seperti ini, tadi aku pikir yang namanya klothok itu sejenis kapal kecil reyot begitu,” ucap Lysa membuka diskusi. Dia benar. Saya juga tidak menyangka yang namanya klothok itu ternyata adalah rumah kayu dua lantai yang terapung.