Ingat Sampit, Ingat Jelawat

Hanya sesaat setelah roda-roda pesawat bergesekan dengan landasan yang basah, bau petrikor bercampur nuansa anyir seakan menyesaki kabin. Tidak berapa lama kemudian sepapas pesan singkat masuk ke telepon saya, “Ingat Sampit, Ingat Jelawat!”

Ingat Sampit, ingat jelawat?

Tidak. Ingat Sampit, ingat tragedi. Jumlah orang yang mengasosiasikan Sampit dengan jelawat barangkali bisa dihitung dengan jari, tidak peduli seberapa pun pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur berusaha menghapus masa lalu kawasan ini. Bahkan setelah delapan belas tahun berlalu, orang masih mengingat Sampit sebagai ladang pembantaian, sebuah arena tempat algojo-algojo Dayak menyembelih orang-orang Madura dua dekade silam.

Perjalanan dari Bandara H.Asan menuju ke kota memakan waktu sekitar dua puluh menit. Saya diturunkan di tepi Sungai Mentaya, tepat di sebuah taman tepi air yang berada di sisi pasar. Tanah lapang di tepian Sungai Mentaya ini tertata rapi dan bersih, sementara di tengah halamannya terdapat sebuah tugu totem kabupaten dengan patung ikan jelawat menyembul di depannya.

Sampit memang bukan kota tujuan wisata. Bahkan kota ini pernah populer untuk satu alasan yang keliru, kerusuhan etnis. Terang saja tanda tanya besar terpampang di wajah teman-teman saya ketika saya menyebut akan berakhir pekan di Sampit. Andai saja saya bukan seorang petualang, tentu mereka semua sudah ramai-ramai mencegah saya berangkat.

Adapun Tugu Jelawat ini hanya satu dari sedikit usaha pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur untuk mendongkrak daya tarik wisata kota ini. Usaha yang boleh dibilang masih jauh dari berhasil. Tidak hanya sekedar menarik wisatawan namun juga menghapus stigma lama dengan menanamkan stigma baru yang positif.

Beruntung siang itu mendung. Matahri tidak terlampau ganas menyoroti kepala saya sedari tadi saya berjalan menyusuri tepian Sungai Mentaya. Wajah-wajah cuek di paparan Pasar Mentaya membuat saya lebih leluasa untuk berbaur dengan keramaian, sesekali terdengar sahutan bahasa Jawa Timuran yang artinya etnis Madura masih mendiami kota ini.

Tidak. Delapan belas tahun adalah waktu yang lama. Sudah sewajarnya jejak tragedi yang pernah ada di masa lampau itu seakan tidak meninggalkan bekas di kota ini. Ketika masyarakat luar masih menatap wajah masa lalunya, Kota Sampit berputar dengan roda waktunya sendiri, bergerak menjadi sebuah kota dengan ekonomi yang hidup.