Solo, Jantung Budaya Jawa

Solo adalah kota berkepribadian ganda. Di kota inilah dua dari empat kerajaan pecahan Mataram masih lestari di tengah hiruk pikuk dentum pembangunan kota. Jantung Kota Solo pun demikian distingtif dengan sebuah gerbang putih bertarikh 1744 diapit oleh sepasang reco nggladhag yang duduk setengah berlutut menyambut pengunjung Kraton Kasunanan.

Tidak jauh dari gerbang kraton, terpapar sebuah bangunan kuno berdinding biru langit dengan arsitektur kros Eropa dan Jawa. Di sinilah segala aktivitas Kraton Kasunanan berpusaran selama empat abad, melewati berbagai momen penuh naik turun mulai dari kolonialisme, keistimewaan, karesidenan, hingga berakhir di tangan Sutan Sjahrir yang menyudahi sepak terjang Dr. Muwardi.

Tidak perlu diperdebatkan, Kota Solo adalah kota paling njawani. Kota ini lahir sebagai dampak dari Geger Pacinan yang melibatkan bentrokan antara kaum Tionghoa melawan Belanda. Konflik yang meluas dan menyeret famili Kraton Kartasura tersebut membawa istana kerajaan pecahan Mataram ini menuju kehancuran fisik yang tidak tertolong lagi.

Kepindahan dari Kartasura ke Surakarta menandai berdirinya era baru. Di dalam perkembangan lanjutannya, Kasunanan Surakarta menjadi penyeimbang bagi Kasultanan Ngayogjakarta, bahkan pada awal era kemerdekaan kedua daerah istimewa ini bertindak sebagai oposisi satu sama lain. Banyaknya kerusuhan, penculikan, pembunuhan, dan ketidaktegasan sang raja yang melibatkan Barisan Banteng membuat pemerintah pusat turun tangan. Keistimewaan Surakarta disudahi dan provinsi ini kemudian diubah menjadi karesidenan.

Berakhirnya era keistimewaan tidak mengakhiri kejawaan Solo sendiri. Tanah ini masih memeluk erat budaya Jawa yang menjadi jantungnya. Di balik pencakar langit, hotel, dan apartemen yang menjamur, terselip budaya Jawa yang masih sangat kental.

Kepribadian ganda juga tersirat dari kehidupan etno-religi masyarakatnya. Budaya Kejawen yang begitu kental masih banyak dianut di setiap sudut-sudutnya. Tidak jarang ritual-ritual klasik khas Jawa Kuno berbaur dengan Islam dan Katholik begitu saja seakan tanpa kontradiktori. Kejawen yang kental bertahan hidup berdampingan dengan kantung-kantung Islam radikal, sungguh satu hal yang membuat kepribadian Kota Solo semakin membingungkan.

Namun itulah Solo. Kota yang untuk dinikmati tidak menuntut untuk dipahami dari segala wajah ekstrimnya yang tampil secara tidak nyambung dalam satu bingkai pigura. Untuk menikmati kota ini, kita hanya perlu masuk ke dalamnya dan merasakan transformasi yang berjalan cepat di atas roda waktu yang berjalan lambat.