“Kenapa Yogyakarta menjadi daerah istimewa, sementara Solo tidak?” tanya Annisa kepada saya ketika kami berdua berjalan menyusuri taman Kraton Kasunanan Surakarta yang rimbun.
“Pada tahun 1945 sebenarnya Daerah Istimewa Surakarta itu ada,” jawab saya ringan, “Tetapi konflik dan isu politik berkepanjangan terutama dengan protes dari berbagai golongan, akhirnya status itu diubah menjadi Karesidenan Surakarta dan diintegrasikan ke Provinsi Jawa Tengah.”
Tidak banyak yang mengetahui bahwa Kraton Kasunanan Surakarta dulu pernah sepadan dengan Kraton Kasultanan Yogyakarta, sama-sama daerah otonomi. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan terabaikannya wibawa dari Sri Susuhunan Pakubuwono pada waktu itu, kekuasaan ini dikikis dan dihapuskan. Solo menjadi kota sementara wilayah-wilayah lain yang dulunya berada di bawah Karesidenan Surakarta menjadi kabupaten-kabupaten baru.
Meskipun saya asli Solo, ini barulah merupakan kunjungan ketiga saya ke kraton ini. Kunjungan pertama saya lakukan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu kami berjalan kaki dari sekolah di Purbayan menuju ke wilayah Kraton Kasunanan untuk mendengarkan cerita-cerita historis tentang ikon Kota Solo ini.
Sekarang Kraton Kasunanan dan Sri Susuhunan Pakubuwono barangkali tidak lebih dari sebuah simbol semata. Rentetan intrik kekuasaan dan kekacauan di dalam manajemen asetnya selama berpuluh-puluh tahun terakhir membuat kraton ini kehilangan wibawa di mata masyarakat Solo sendiri. Selebihnya, bangunan tua yang pernah menjadi episentrum kekuasaan itu kini tidak lebih dari sebuah emplasemen sang raja dan atraksi wisata.
Akankah Kasunanan Surakarta mendapatkan kembali kejayaannya? Entahlah.