Semakin malam jalanan Bagansiapiapi semakin ramai, bukan hanya oleh kendaraan yang simpang siur seakan semua ruas jalan adalah jalan dua arah, namun juga oleh para pedagang durian dan kedai-kedai kopi. Tentu tidak mungkin bagi saya untuk membawa durian masuk ke hotel, dengan demikian fokus saya malam ini hanyalah mencari makan malam dan ngopi.
Di simpang jalan yang ada di pusat kota saya menyinggahi sebuah warung makan yang nampaknya cukup ramai meskipun tidak terlampau padat dan duduk di salah satu kursinya. Untuk jalan protokol seperti ini, ketiadaan lampu jalan sebenarnya cukup membuat saya agak mengumpat. Si pemilik rumah makan adalah seorang pria setengah tua berwajah Tionghoa yang, anehnya, memakai blangkon ala Jawa mondar-mandir di depan meja kasir.
“Tidak ada apa-apa malam ini hanya ikan pari,” cetusnya dengan senyum lebar, “Kita bergantung pada tangkapan di laut, jika dapat pari ya masak pari, jika dapat yang lain ya masak yang lain.”
Saya tidak menjawab, hanya mengangguk. Tidak lama kemudian sepiring ikan pari yang dimasak saus padang dihidangkan di hadapan saya, daging ikan pari terasa lembut seperti daging kakap meskipun pada beberapa bagian kenyal seperti daging cumi. Jadilah malam itu saya menyantap masakan ikan pari sembari menyaksikan Kota Bagansiapiapi bangkit dengan kemeriahannya yang serba semrawut.