Katakanlah pempek sebagai sebuah delikasi memang tidak salah, namun sejatinya lebihlah dia daripada yang tersematkan itu. Pempek hadir di Palembang bukan sekedar sebagai penganan, melainkan sebuah kebanggaan masyarakat. Pempek hidup sebagai simbol-simbol sosial bahkan identitas budaya, sungguh capaian tertinggi bagi satu ragam kuliner.
Namun salah besar andai menganggap pempek adalah identitas tunggal kuliner Palembang. Di selip-selip pasar pagi yang riuh semrawut, Alya membawa saya ke sebuah rumah makan mie celor. Mie celor adalah makanan lokal Palembang, terbuat dari mie kuning yang terendam dalam kuah santan yang berhias telur rebus, sayur mayur, dan beberapa potong udang sungai. Rasanya cocok sekali untuk sarapan pagi.
“Lemak!” saya berkomentar, artinya enak dalam Bahasa Palembang. Alya cuma tertawa kecil menanggapi karena nampaknya dia sedang asyik dengan porsinya sendiri. Jadilah kami membuka pagi itu dengan mie celor di sela-sela pasar yang riuh, sementara untuk siang harinya Alya mengajak saya mencicipi pempek Viko di pusat kota.
“Karena makan apapun di Palembang, belum lengkap jika belum mencoba pempek,” jawabnya. Pempek maupun variannya, model dan tekwan, memang begitu mendarah daging. Dari anak-anak sekolah hingga ibu-ibu pegawai negeri lumrah terlihat menikmati pempek pada jam makan siang.
Kisah masuknya pempek ke Palembang bukanlah catatan sejarah yang terpatri jelas, narasinya berbaur dengan legenda, mitos, dan kata orang. Pada masa silam sebelum adanya teknologi pengawetan makanan yang modern, limpahan ikan yang ditangkap di Sungai Musi terpaksa harus dibuang lantaran membusuk sebelum sempat dikonsumsi.
Tidak ingin membuang makanan sia-sia, seorang kakek keturunan Tionghoa memasak ikan-ikan yang belum termakan tadi di tengah baluran tepung, menjadi fishcake. Kepopuleran makanan model baru ini menyebar ke seantero Palembang, yang kemudian membuat mereka menyebutnya pempek, berasal dari kata “pek-apek” sebutan untuk kakek dalam salah satu dialek Tiongkok. Selebihnya adalah sejarah.