“Mariposa,” bisik perempuan berambut pirang itu sembari tertawa renyah ketika menyaksikan puluhan kupu-kupu hijau biru berterbangan di antara dedaunan paku yang runduk. Sayap-sayap mereka bergetar pelan di sela-sela ketenangan rimba Kalimantan.
“Are you Spanish?” tanya saya kepadanya, “If I am not mistaken, French call them papillon.”
Perempuan itu memang berasal dari Spanyol, bekerja di Hotel Melia Jakarta. Di sela-sela waktu liburnya, ia menyempatkan diri untuk berkunjung ke Tanjung Puting, menyinggahi sangtuari orangutan terbesar di planet ini.
Tanjung Puting memang dikenal lantaran orangutan. Namun sejatinya ia adalah rumah bagi berjuta-juta spesies, yang masing-masing hidup dalam sebuah komunitas hutan hujan yang masif. Tidak terkecuali rombongan kupu-kupu yang saya temukan di sepanjang perjalanan menyusuri rimba Kalimantan ini.
Di seputar daerah Pondok Ambung sendiri telah diidentifikasi sebanyak lebih dari 76 spesies kupu-kupu, yang mayoritas mendiami daerah landaian tepi sungai dan rawa-rawa. Jadi jangan pernah heran apabila berkunjung ke tempat ini dan menemukan warna-warni kupu-kupu yang unik menarik.
“Kamu paham soal kupu-kupu? Dulu belajar tentang itu di kampus?” tanya Pak Donny yang agak heran menyaksikan saya mengamati kupu-kupu dengan sangat antusias.
“Tidak perlu menjadi zoologist untuk menikmati keindahan, kan?” tanya saya balik.
Tidak. Saya tidak tahu apa-apa soal kupu-kupu. Namun ketiadaan pengetahuan itu sudah lebih dari cukup untuk menikmati keindahan corak warna-warni sayapnya yang bergetar pelan dan kemudian membawa pemiliknya terbang menjauh.