Ini mungkin perjalanan paling sinting yang pernah saya ikuti. Pasalnya salah satu prasyarat persinggahan napak tilas ke Kampung Laskar Pelangi adalah mengenakan seragam sekolah dasar!
Jadilah kami bersepuluh mengenakan seragam kebesaran yang kekecilan tipikal anak-anak sekolah dasar kecuali Eka yang berperan sebagai guru. Lengkap dengan dasi cekaknya. Mobil yang mengantar kami dari Tanjung Pandan ke Gantong menjadi seperti kendaraan study tour yang dipenuhi anak-anak SD berkumis dan berjenggot tebal. Seolah-olah bocah-bocah SD ini bermuka boros atau keseringan tinggal kelas.
Di Tanjung Pandan kami memborong sepuluh stel seragam sekolah dasar dari sebuah toko yang tidak jauh dari pusat kota, pokoknya kami beli yang ukuran paling besar. Entah karena anak zaman sekarang badannya besar-besar atau lantaran kami mengalami defisiensi gizi, ternyata seragam anak sekolah dasar itu masih pas dikenakan meskipun serba ketat.
Untuk pengambilan gambar semuanya diserahkan kepada pak sopir dan tripod milik Masrur. Nyaris dua jam waktu kami habiskan di desa Gantong ini untuk mendapatkan ratusan gambar yang sebenarnya tidak layak dipandang mata itu.
Bicara soal Desa Gantong, terus terang desa kecil di paparan timur Belitung ini sudah banyak berubah semenjak era Laskar Pelangi. Pada periode kanak-kanak Andrea Hirata, desa ini begitu terpencil dengan akses jalan yang nyaris tidak ketara. Bahkan di beberapa sisinya masih berupa rawa-rawa yang diinfeksi oleh kawanan buaya.
Namun sekarang Gantong sudah berubah. Jalanan dari Tanjungpandan, waktu itu kami melewati lintasan Kelapa Kampit, hingga ke desa ini sudah beraspal mulus. Desa-desa yang dulunya terpencil di rawa-rawa kini menjadi berposisi di sisi jalan dengan perekonomian yang meriah. Begitulah. Salah besar apabila kita tidak mau mengakui bahwa Indonesia sudah banyak meraih kemajuan dalam tujuh dekade usianya.