Kota Ternate pada malam Lebaran ibarat pasar malam raksasa. Seantero kota kecil ini tumpah ruah dengan penduduk yang berjalan kaki dan naik motor di jalan-jalan protokolnya, mengakibatkan kemacetan sekelas Jakarta di pagi hari. Itulah mengapa Awhy lebih memilih memarkirkan sepeda motornya dan mengajak saya berjalan kaki menyusuri emperan jalan.
Pada momen seperti ini, pedagang pakaian ikut memenuhi badan jalan. Satu per satu Awhy memasuki kios-kios yang menjual celana, memilih dengan cepat dan menawar sementara saya sibuk memotret sembari mengikuti gerak-geriknya. Boleh dibilang saya tidak akan pernah sanggup menandingi kelincahan orang ini di dalam aksi menawar kolor.
“Sebentar saya sholat dulu,” ucap Awhy tatkala melintas di hadapan Masjid Raya Ternate. Saya pun mengangguk dan menungguinya di depan halaman masjid sembari terpana mengamati riuhnya jalanan Kota Ternate malam itu. Ini benar-benar tidak terduga lantaran Kota Ternate selazimnya begitu senyap, bahkan dalam kesehariannya, mendadak berubah menjadi seperti pasar malam dalam sekejap.
Seusai menjalankan ibadah, Awhy mengambil sepeda motornya dan mengajak saya singgah di salah satu kios jagung bakar yang terletak di tepi pantai. Di sana kami menyantap jagung seraya mendiskusikan tentang rencana untuk bermain ke Tidore esok. Awhy juga banyak membahas tentang Randy yang tinggal di Kota Manado, kebetulan Randy adalah yang membawa saya berkeliling kala itu.
“Besok saya mau ke Kota Tidore Kepulauan di seberang sana,” ucap saya memberitahukan kepada Awhy perihal rencana esok. Nampaknya Awhy berminat untuk ikut serta di dalam perjalanan tersebut. Jadilah esok jadwal kami adalah berkunjung ke kota kepulauan yang konon wilayahnya merupakan kota terluas di Indonesia, apabila luas teritori lautnya dihitung.
Malam itu kami berpisah di depan losmen. Saya kembali untuk tidur di sebuah losmen murah namun tidak meriah yang diperuntukkan bagi para pelaut dan buruh kapal. Namun malam itu saya terlalu lelah untuk peduli.