“Sudah! Sudah!” seru perempuan muda itu kepada Pak Sopir dengan muka cemberut sembari menunjuk ke arah saya, “Biarkan dia duduk di sini. Di antara kami berdua saja!”
Saya hanya melongo terdiam lantaran berusaha mencerna apa yang terjadi. Pak Sopir bersikukuh menyuruh saya duduk di belakang karena tidak sepantasnya seorang laki-laki duduk di dalam mobil di tengah-tengah himpitan para gadis. Tetapi dua perempuan di kanan dan kiri saya seakan tidak kalah ngototnya meminta saya tetap duduk di situ. Entah apa salah saya.
Alhasil Pak Sopir pun menyerah. Saya dibiarkan untuk duduk di kursi tengah dihimpit dua perempuan muda yang sekarang terlihat tersenyum penuh kemenangan. Mesin mobil pelan-pelan terdengar menderu-deru dan roda-roda kecilnya beranjak dari Sigli siang itu.
Di sepanjang jalan saya hanya berkonsentrasi memandang jalan raya lantaran saya tidak ingin melewatkan momen-momen bagus, sembari sesekali meladeni lontaran tanya jawab dari para penumpang lain yang memandang saya seperti alien yang mendarat di Aceh. Di jalan raya yang beraspal mulus poros Banda Aceh dan Medan ini, mobil digeber kencang-kencang seperti kaleng Khong Guan yang dipasangi jet coaster. Harapan saya cuma satu, tiba di Takengon dengan selamat.