Tana Toraja adalah culture shock tanpa paspor. Tebing-tebing batu dengan patung-patung kayu dari orang yang telah meninggal, tumpukan kerangka di dalam gua lembap, julang-julang menhir di padang rumput, rumah-rumah dengan atap raksasa, dan upacara kematian penuh euforia yang tiada duanya di belahan dunia manapun. Singkat cerita Toraja adalah dunia lain yang terletak di tengah-tengah nusantara.
Tidak terkecuali dengan Londa. Perjalanan Rudy dan saya ke pertebingan kapur disambut dengan berpuluh-puluh peti mati kayu yang tergantung-gantung di dinding tebing, ditopang oleh silang bilah-bilah kayu, terbuka begitu saja ke pandangan setiap orang di sekitarnya.
Berwisata ke Tana Toraja memang tidak akan jauh-jauh dari wisata kubur. Meskipun tidak harus selalu bermakna ziarah. Londa pada mulanya merupakan tebing kober untuk para bangsawan atau keluarga yang berada. Pekuburan ini terdiri dari dua rongga gua besar yang menyimpan ratusan peti mati dan tengkorak manusia.
Selain untuk pekuburan, Londa juga merupakan sitadel pertahanan masyarakat Toraja pada masa lampau kala mereka mempertahankan diri dari serangan Kerajaan Bone. Di balik Tebing Patabang Bunga ini terdapat sebuah benteng pertahanan yang mereka namai Benteng Tarangenge.
Layaknya Lemo, kawasan Londa juga dipenuhi dengan jajaran tau-tau. Meskipun tidak terpasang setinggi yang ada tebing kompatriotnya, jumlahnya tidak kalah banyak. Patung-patung kayu dari sosok yang telah meninggal ini ditempatkan pada balkon-balkon tebing kapur, seakan mereka ditugaskan menyambut kedatangan para pengunjung.
“Peti mati yang ada di sana punya tiga jenis,” terang Pak Timotius yang memandu kami siang itu seraya menunjuk ke arah barisan peti kayu yang tergantung di dinding tebing, “Yang berbentuk rumah adat itu milik bangsawan, yang berbentuk kerbau milik pria dan babi milik wanita.”
Peti-peti kayu tersebut diletakkan di dinding tebing dalam posisi yang tidak beraturan, semakin tinggi status sosial dari sosok yang meninggal dunia maka semakin tinggi penempatannya. Agak lama saya mencoba mengamati satu demi satu peti-peti kayu yang tergantung di tebing. Ajakan Pak Timotius untuk masuk memecah keheningan siang yang sepi itu. Saya berjalan mengikutinya masuk ke dalam gua.