Pagi itu Hutan Mutis ibarat gunungan lumpur. Hujan yang mengguyur dua malam silam meninggalkan jejak berupa tanah merah lembek yang menggenangi badan jalan. Akibatnya kendaraan yang berusaha melintas pun kesulitan untuk mempertahankan diri di dalam lintasan, ibaratnya bermain sepatu roda di atas lautan mentega.
Jangan heran apabila dalam satu perjalanan sejauh kurang dari sepuluh kilometer itu kami sudah empat kali, atau lima kali, turun dari mobil untuk mengevakuasi kendaraan yang terjebak lumpur. Korban sampingan dari peristiwa ini tentu saja adalah sekujur tubuh saya dan utamanya sepatu yang menjadi penuh belang kecoklatan ibarat masuk ke dalam adonan cokelat.
“Satu! Dua! Tiga!” teriak Pak Wayan dengan kepayahan, suaranya tersengal-sengal karena ini sudah keempat kalinya kami berusaha untuk membebaskan mobil besar ini dari jebakan lumpur namun tidak berhasil. Saya memasukkan kamera ke kantong jaket untuk mencegahnya terbaur tanah pekat yang mengotori kedua tangan.
“Diikat talinya!” teriak salah seorang polisi yang saya tidak bisa pastikan siapa, “Pakai pohon itu buat anchor!”
Saya menarik salah satu tambang kawat, kemudian mengikatnya di batang pohon besar yang ada di tepi jurang. Mulailah mobil tadi ditarik perlahan-lahan dengan mengandalkan keperkasaan batang pohon sebagai tuas pegangan. Lumpur mulai menyembur ke sana kemari. Mobil yang ditarik maju ternyata terpeleset ke kanan dan ke kiri layaknya sabun batangan yang jatuh di toilet.
Tidak berhasil. Saya mengusap peluh dan kembali terjun ke limpahan lumpur. Kini semua orang ikut turun dan mendorong mobil tadi keluar dari jebakan lumpur yang nampaknya sudah membenamkan setengah roda. Perjalan mobil sudah mulai bergerak keluar, terangkat keluar dari sekapan tanah lembek yang menguburnya.
Entah berapa menit berlalu. Barangkali hampir satu jam. Namun kami kini bisa bernapas lega karena mobil-mobil yang kami tumpangi di hutan ini akhirnya sanggup melanjutkan perjalanan. Sementara itu matahari sudah tepat di atas kepala.