Saya Makan Kalajengking!

Ibu tua itu menaruh semuanya di dalam ember kayu. Sekitar dua lusin udang raksasa bercangkang merah jingga nampak menggeliat di cekungnya, berdesak-desakan berebut celah. Entah binatang apa itu, seperti persilangan antara udang dan kalajengking, saya hanya berdiri mengamati seraya melemparkan sejumlah pertanyaan.

“Namanya makauhe,” jawab si ibu sambil membolak-balik binatang laut itu, “Kalau mau coba saja, satu cuma dua belas ribu. Saya pilihkan deh. Yang ini besar. Bagus.”

Rasa penasaran adalah dinamo seorang pejalan jauh. Sepakat. Saya beli.

Sambil menenteng seekor kalajengking raksasa di dalam kantong plastik, saya berjalan menuju ke pesisir pantai. Si ibu tadi menyarankan agar saya mencari salah satu rumah makan di sana untuk memasaknya. Entah yang mana. Akhirnya saya pun memutuskan untuk bersinggah di salah satu restoran berdinding kayu di sudut jalan.

“Saya tidak tahu apa ini,” terang saya mengawali pertanyaan seperti orang bodoh, “Dan saya tidak tahu mau diapakan, bisa minta tolong dimasakin satu? Saya mau coba.”

“Oh, ini makauhe,” jawab si engkong tua pemilik rumah makan memamerkan giginya yang sudah hilang separo, “Ini udang bakau. Bisa digoreng atau dimasak kecap.”

Terserah. Lagipula tanpa tahu menahu, apa hak saya untuk membantah?

Saya lupa berapa biayanya. Makauhe dimasak dengan saos pedas, dihadirkan dengan irisan sayur mayur terhidang di depan hidung. Sekarang timbul masalah kedua, bagaimana cara makannya?

Insting saya mengatakan bahwa cara menyantap delikasi aneh ini tidak akan berbeda jauh dengan hewan-hewan berkulit keras lainnya. Anggap saja kepiting. Satu demi satu kulit makauhe ini saya bongkar dengan garpu hingga daging bagian dalamnya yang lembut terlihat. Rasanya? Sebut saja di perbatasan antara daging udang dan kepiting.