Listrik pun padam. Sudah biasa. Entah sudah berapa ratus kali dari perjalanan saya ke setiap sudut-sudut Indonesia pun berhadapan dengan padamnya listrik. Meskipun sekarang sudah agak jarang, teruntuk daerah-daerah tertentu hal seperti ini masih menjadi sebuah rutinitas dan tidak terkecuali dengan Nunukan.
“Ya, kadang-kadang memang listrik suka padam,” ucap Pak Karso seraya duduk di emperan hotel mencari secercah cahaya dari lalu lalang lampu kendaraan di malam itu, “Tetapi sekarang sudah mendingan kok. Sudah agak jarang-jarang.”
Saya memilih meninggalkan hotel dan berjalan dalam kegelapan malam menyusuri trotoar Kota Nunukan. Meskipun bukan kota yang besar, Nunukan masih terasa ramai pada malam hari. Aktivitas komunal warganya di alun-alun kota masih terasa meskipun gelap gulita.
Di seberang alun-alun ternyata listrik tidak padam. Pendar-pendar sorot cahaya lampu nampak berkilauan dari kafe-kafe yang ada di sepanjang jalan utama. Maka saya pun memutuskan untuk masuk ke salah satunya, melihat apa saja yang mereka punya di dalam sana. Tentu tanpa banyak berekspektasi. Apa sih yang kita harapkan dari sebuah kabupaten di ujung negara seperti ini?
Agaknya saya keliru. Kafe-kafe di Nunukan meskipun tidak bisa dibilang mewah, namun cukup lengkap. Menu-menu standar ala kedai-kedai meriah yang biasa saya tongkrongi di Babarsari, Yogyakarta, ada semua di sini. Jadilah saya kedapatan aktivitas baru untuk melewatkan malam yang tidak saya rencanakan sebelumnya.
“Saya sedang di ujung negeri,” sepenggal pembaharuan status di media sosial itu mengundang banyak komentar dari orang-orang di lingkaran pertemanan saya. Seperti yang sudah saya duga, mereka penasaran dengan perjalanan saya kali ini.