Rembulan tidak terlihat di kelam awang. Awan kelabu membayangi setengah luasan langit di pedalaman Kalimantan Tengah pada malam itu. Kami berdelapan asyik bercengkerama diterangi oleh redup cahaya lampu. Entah membahas apa. Bayang-bayang bergoyang tatkala kapal kayu yang kami tumpangi berayun ringan di paparan Sungai Sekonyer. Di kejauhan hanya suara serangga hutan yang sesekali terdengar.
Pak Donny menundukkan kepalanya ketika masuk ke dek kapal yang beratap rendah, setengah berteriak kepada kami, “Itu penjaga hutan sudah siap, silakan beres-beres, pakai sandal, kita mau jelajah malam.”
Tanah yang sedikit becek membenamkan alas kaki saya. Sementara pandangan ke depan hanya berserah pada sebuah senter redup, selebihnya pekat.
Hembus udara hangat dan pendar api kunang-kunang berterbangan kian kemari membuat kesenyapan malam serasa menyimpan misteri. Tidak salah. Malam di hutan memang berbeda. Burung-burung hutan yang berwarna-warni nampak bertengger di ranting-ranting tipis, berdiam diri, tidur. Sementara di selip tanah sesekali terlihat tarantula sebesar jengkal tangan orang dewasa merangkak keluar.
Bapak penjaga hutan menyorotkan senternya ke salah seekor burung yang hinggap di ketinggian ranting, burung berkepala jingga itu tidak bereaksi. Diam saja menikmati tidurnya.
“Ada predator apa di Tanjung Puting, Pak?” tanya saya kepada sang penjaga hutan.
“Di sini paling banyak ya buaya di Sungai Sekonyer itu. Buas-buas. Makanya pengunjung tidak diizinkan berenang. Di hutan ada leopard. Tetapi seumur hidup saya baru satu kali bertemu,” jawabnya singkat.
“Ya, semoga malam ini kita bisa ketemu lagi ya, Pak,” jawab saya yang langsung dibalas dengan teriakan kompak dari teman-teman. Satu jam lamanya kami berdelapan berjalan menyusuri hutan tropis Tanjung Puting, melihat satwa yang ada di dalamnya dari dekat, mulai dari burung hutan, tarantula, kalajengking, katak pohon, hingga musang kecil. Menarik, tetapi saya masih ingin bertemu leopard.