“Terlihat wanita-wanita desa untuk kali pertama datang ke pasar. Membawa ikan dan buah untuk dijaja. Mereka kini punya uang, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Selama ini mereka tidak punya pasar. Semua diimpor Belanda. Buah, sayur, dan batu arang.” – Fritz Molendorf
Enam dekade lewat di kota Malino, tidak jauh dari Makassar, Hubertus Van Mook duduk mewakili Belanda dalam satu negosiasi akbar dalam tarik ulur pendirian Republik Indonesia Serikat. Di situ Frans Kaisiepo hadir mewakili rakyat Papua dan mengusulkan nama Irian, nama yang berpunya makna cahaya penghalau kabut.
Di era Trikora, muncul desas-desus bahwa Irian sebenarnya adalah kependekan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.
Lima belas tahun kemudian, Papua jatuh dari tangan Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bermula dari sebuah operasi komando yang dikenal dengan nama Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Tujuh ribu pasukan angkatan udara, lima ribu pasukan angkatan laut, dan tiga belas ribu pasukan angkatan darat dikerahkan untuk menghantam Belanda. Usaha yang dilabeli “pembebasan” ini berakhir dengan sebuah perjanjian di New York pada tahun 1963.
Bagi para nasionalis republik ini, kisah Pembebasan Irian Barat ibarat epik romantik.
Di sentrum kota Makassar kini berdiri monumen untuk mengenang peristiwa tersebut. Monumen Mandala, yang disebut-sebut Lonely Planet sebagai miniatur Monumen Nasional, dibangun tepat di jantung kota sebagai pengingat akan bergabungnya Papua ke Republik Indonesia.
Kurang tahu pasti apakah monumen ini boleh untuk dimasuki. Namun yang jelas pada siang itu kunjungan Rudy dan saya ke sana hanya disambut oleh pintu kayu yang tertutup rapat. Tidak nampak seorang petugas pun yang berjaga di sana. Sunyi senyap.
Alhasil, saya hanya berfoto di depan salah satu pintunya.
Monumen ini berdiri gagah di tengah ramainya Makassar yang terus tumbuh pesat sebagai tanda sebuah pencapaian penting negara ini. Seakan-akan abai bahwa di terminus timur sana, peristiwa pembebasan lima dekade silam masih menyisakan segepok masalah yang tak kunjung usai.