“Beneran mau turun di sini?” tanya si sopir setengah tidak percaya ketika saya bilang saya mau turun di depan patung ikan yang menjadi pintu sambutan Kabupaten Rokan Hilir.
Mobil berhenti. Saya melompat turun dari mobil menepi ke trotoar. Kemudian mobil pun berlalu meninggalkan debu yang beterbangan di jalanan sepi. Sekarang saya berdiri seorang diri di tengah jalan raya yang menghubungkan antara Bagansiapiapi dengan Ujung Tanjung, dua pusat utama perekonomian Kabupaten Rokan Hilir. Tidak terlihat ada seorang pun di sini.
Di luar dugaan saya, Bagansiapiapi benar-benar sepi. Namun jalan besar yang terhampar di depan saya kali ini begitu luas, membentang enam ruas beraspal mulus dengan gedung-gedung megah di kanan kirinya. Hanya saja dari kondisi trotoarnya yang mulai ditumbuhi oleh perdu nampak bahwa perawatan bukan merupakan prioritas pemerintah kabupaten.
Ini adalah peninggalan terakhir Bupati Rokan Hilir, Annas Maamun, yang menggerakkan pembangunan infrastruktur besar-besaran beberapa tahun silam. Pembangunan di sudut-sudut Bagansiapiapi ini mengubah wajah kota ikan dengan dua lusin gedung modern di kanan kiri jalan, mulai dari Museum Muslim, Museum Tionghoa, Museum Ikan, Kantor Pengadilan, Kantor Dinas Pendidikan, hingga Taman Budaya. Namun semenjak bupati yang baru menjabat, anggaran perawatan nampaknya dipangkas habis-habisan.
“Pembangunan infrastruktur waktu itu tidak memperhatikan kebutuhan rakyat,” keluh Atiek yang berdiskusi dengan saya melalui media sosial siang itu, “Rakyat butuh air bersih, bupati malah bangun museum. Rakyat butuh pasar, bupati malah bangun taman. Tidak heran apabila bupati sekarang pangkas proyek-proyek mercusuar itu.”
Demikianlah kini saya berjalan menyusuri trotoarnya yang sudah tercongkel di sana sini, berjalan kaki seorang diri sejauh tiga kilometer sembari sesekali mengambil foto di tengah jalan lantaran tidak ada satu kendaraan pun yang melintas. Setiap usaha untuk menghampiri museum yang bertabur di tepi jalan tidak membuahkan hasil, semuanya terkunci rapat.
Museum Tionghoa digembok erat-erat dengan rantai besar mengikat kedua daun pintunya. Sementara Museum Muslim lebih parah, bangunannya sudah remuk redam dengan kaca-kaca yang sudah terlepas dari tempatnya. Saya belum berubah pikiran, tekad saya untuk menyusuri kota penuh sejarah ini masih menggelegak.