Perahu yang bersandar di hadapan saya punya kabin tidak lebih besar daripada bak truk. Siapa sangka jika dulu kapal-kapal ini pernah digunakan oleh para pengungsi Vietnam mengarungi ombak liar Laut Cina Selatan, hingga berakhir di Pulau Galang. Tidak ada yang tahu berapa yang tenggelam di samudera, yang jelas hanya beberapa yang berhasil menggapai daratan.
Manusia kapal, demikianlah media menyebut mereka. Lima puluh hingga enam puluh kepala dijejalkan ke dalam satu perahu laiknya hewan ternak. Di perahu kayu ini mereka berdesak-desakan, kepala dan kaki saling tindih, bahkan di tempat yang sama mereka harus makan dan buang air hanya demi mencapai sebuah tanah yang sama sekali asing.
Tatkala mereka tiba di perairan Indonesia, kondisi mereka begitu menyedihkan. UNHCR mendapuk Pulau Galang untuk menampung mereka, menjadikan pulau ini tempat tinggal sementara bagi mereka. Sementara. Tapi entah sampai kapan.
Perjalanan tidak selalu mulus. Banyak pengungsi menolak dipulangkan lantaran kecamuk politik yang semakin memanas di Vietnam, beberapa mengajukan kewarganegaraan Indonesia namun ditolak oleh pemerintah. Sebagai bentuk aksi protes, mereka membakar dan menenggelamkan perahu kayu yang pernah mengantar mereka ke Pulau Galang. Perahu berlambung biru itu terbenam di perairan Batam, barulah beberapa tahun kemudian pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya kembali ke daratan, memperbaiki, dan menjadikan keduanya monumen memorial akan sebuah tragedi kemanusiaan.