Semua barang pribadi masuk ransel. Matahari baru saja bangun tetapi saya sudah ngendon di anjungan dermaga Derawan. Hari ini saya melanjutkan perjalanan ke Tanjungredeb setelah lama berputar-putar di pulau kecil yang memukau ini. Perjalanan saya masih panjang.
“Gelombangnya masih besar pagi ini,” kata si empunya perahu, “Tunggu sebentar ya, kalau nekat jalan nanti badan kita bakalan sakit semua.”
Saya tidak memprotes. Terserah si empunya perahu tentunya. Untunglah setengah jam kemudian kami sudah siap untuk berangkat. Kali ini saya tidak sendirian, melainkan duduk bersama seorang ibu yang membawa setumpuk ikan segar dan kardus-kardus berdebu.
Perahu menderu kencang meninggalkan perairan Derawan. Meskipun tadi diklaim lautan sudah tenang sehingga kami berani diberangkatkan, ternyata itu omong kosong belaka. Perahu motor kecil mungil itu tergoncang-goncang dengan hebat, bahkan saya khawatir salah-salah perahu itu bisa terbelah jadi empat bagian ke empat penjuru mata angin setelah dihantam ombak.
Beruntung kekhawatiran saya tidak terbukti. Memasuki dangkalan Kalimantan, gelombang mulai terasa agak tenang. Deru perahu yang tadinya garang sekarang terdengar agak merepet.
“Di Tanjung Batu sudah dapat kijangnya, Mas?” tanya si nakhoda perahu membuka pembicaraan, “Kalau setahu saya pagi seperti ini agak susah.”
Tak dinyana, pagi itu saya dijebloskan ke dalam kabin Avanza bersama sebelas orang lainnya layaknya sekaleng ikan sarden. Tidak ada pilihan lain karena itulah satu-satunya kendaraan yang berangkat pada pagi yang terlaknat itu. Jika mau yang agak leluasa harus menunggu sampai tengah hari.
Tentu saja pertanyaan satu milyarnya adalah, di mana tas ransel besar saya ditaruh di dalam kendaraan yang sudah penuh sesak seperti itu?
Mudah saja. Saya duduk di atasnya.