Peluh kembali membasahi sekujur punggung. Saya mencoba untuk memiringkan tubuh ke kanan dan ke kiri, namun udara malam itu terlampau panas. Tidak terasa alas kain tipis yang memisahkan saya dengan lantai keramik turut kuyup oleh keringat.
Kami dijejalkan di sebuah aula. Tiga atau empat puluh orang dipaksakan di ruangan sebesar ruang kelas. Entahlah. Jangan tanya ide gila siapa yang mengizinkan laki-laki sebanyak ini masuk di satu ruangan sumpek untuk melepas malam. Tidak hanya itu, nyamuk-nyamuk liar seakan mendapatkan menu santap malam baru di kotej ini. Lengkap sudah.
Malam itu saya tidak bisa tidur. Tepatnya bukan saya, melainkan kami. Kami harus berdesak-desakan tidur beralaskan lantai keras sementara nuansa hangat membuat ruangan terasa seperti sauna. Belum apa-apa, diperparah dengan salah seorang laki-laki pengidap epilepsi di situ kumat.
Beberapa orang mencoba untuk menenangkan. Saya terduduk sejenak namun tidak bisa melihat apa-apa lantaran terlampau gelap. Suara-suara orang tersedak kemudian bercampur keluhan panik dari beberapa orang lainnya. Sudah barang tentu cahaya seadanya dari lampu ponsel tidak sanggup untuk menerangi seisi aula.
“Lain waktu saya akan bawa sleeping bag dan tidak di kebun,” kelakar saya kepada Hadary keesokan harinya. Jujur saja semalam saya tidak bisa beristirahat dan pagi ini kami harus melakukan pendakian ke Puncak Krakatau.
Matahari belum muncul tatkala kami semua berkemas. Kapal motor berukuran semenjana sudah menunggu di dermaga, kami pun segera berlepas menuju ke Gunung Krakatau bersamaan dengan merekahnya sang surya di ufuk timur. Mau tidak mau, suka tidak suka, boleh tidak boleh rasa lelah ini harus ditanggalkan demi pendakian gunung legendaris nanti.