Sejatinya memahami Mohammad Hatta tidaklah sulit, karena beliau selalu konsisten. Hatta adalah sosok pemikir yang pendiam. Bak antitesis Soekarno, Hatta memimpin republik ini jauh dari gegap gempita politik dan kekuasaan. Alih-alih pidato yang meletup-letup ala kompatriotnya, Hatta lebih memilih membubuhkan pemikiran dalam tulisan-tulisan yang tajam.
Barangkali tidak banyak yang tahu bahwa naskah proklamasi yang akhirnya digunakan merupakan konsep rancangan Hatta. Selama berada di lingkar kekuasaan, Hatta pun begitu tenang. Ia adalah penyeimbang bagi Soekarno yang meledak-ledak, bahkan pernah suatu ketika Soekarno sakit hati lantaran Hatta mengganjal sistem presidensial dan mendesaknya menjadi sistem parlementer.
Hatta keluar dari lingkar kekuasaan, juga dalam kesunyian. Ia mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden secara mendadak, kemudian menghilang dari dunia perpolitikan. Barulah beberapa tahun kemudian, Hatta menyuarakan kritiknya terhadap Soekarno melalui tulisan-tulisan khasnya.
Di kota ini, Bukittinggi, Mohammad Hatta dilahirkan.
Lahir dan dibesarkan di dalam ajaran Islam yang kental, Hatta justru menjadi tokoh yang menolak pencantuman kata-kata “penerapan Syariat Islam” di dalam Pancasila. Karena bagi Hatta, keutuhan republik yang baru berdiri ini adalah yang utama. Ya, keutuhan negara ini.