Padang Musamus di Salor

Savanna itu bertabur dua barang, pohon pandan dan sarang semut. Saya sempat tertegun ketika Harry menggeber sepeda motornya melewati padang rumput luas di kanan kiri jalan yang sejauh mata memandang terlihat ratusan sarang semut raksasa. Inilah musamus, sarang semut Merauke yang sejatinya merupakan hasil karya koloni-koloni dari salah satu spesies rayap.

Musamus yang terdapat di hamparan savanna di Salor ini tidak selazimnya musamus yang saya temui kemarin di pedalaman hutan-hutan Sota. Di sini jumlahnya ratusan, atau malah ribuan, dan posisinya berdekatan satu sama lain. Beberapa musamus pun terlihat masih aktif dijadikan sebagai habitat para rayap laiknya pencakar langit teruntuk bangsa serangga.

Saya duduk di tengah-tengah padang savanna. Buluh-buluh rumput terasa menusuk-nusuk pantat membuat saya mengurungkan niat untuk duduk berlama-lama di sini. Salor adalah salah satu kampung transmigran terbesar yang ada di Bumi Papua, di sinilah orang Jawa dan Sulawesi mendominasi dan menaklukkan tanah yang dahulu berupa hutan lebat.

“Ini kelihatannya masih baru,” ucap Harry seraya menyentuh permukaan salah satu musamus, memang terlihat aktivitas beberapa rayap kecil di sela-selanya.

Saya mencoba mengambil beberapa gambar di padang savanna yang sepi ini, sementara di belakang sana sesekali terdengar suara geberan sepeda motor yang melintasi jalan raya desa. Tidak ada seorang pun mau yang mau berpanas-panas di siang hari Merauke hanya untuk berfoto dengan musamus terkecuali pendatang seperti saya.

“Sudah,” ucap saya kepada Harry, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”

Harry berbalik dan saya pun mengikutinya. Kami berdua berjalan menuju ke sepeda motor yang terparkir tidak jauh dari punggung jalan raya, kemudian melanjutkan perjalanan berikutnya menyusuri distrik Kurik. Kebetulan hari ini adalah hari ketiga Lebaran, tujuan utama kami memang mengunjungi beberapa sahabat Harry untuk bersilaturahmi. Sepeda motor kembali melaju di tengah-tengah hamparan musamus yang selang-seling kecoklatan.