Tidak salah apabila museum ini mewakili Laskar Pelangi. Dinding-dinding kayunya dipenuhi dengan ornamen berbagai warna bak pelangi yang kadang menggairahkan namun juga sedikit memusingkan. Adalah Museum Kata Andrea Hirata yang menjadi salah satu atraksi wajib di Belitung Timur saat ini, museum literal pertama di Indonesia, katanya.
Pokoknya museum ini pas banget dengan tweet modelan “secangkir kopi di sore hari” atau foto-foto Instagram nonik-nonik putih yang pakai kaos lucu-lucu. Intinya sih, desainnya rancak dan terlihat membumi dengan segala kesederhanaan yang dibungkus oleh warna-warni yang didesain sepenuh hati.
Pengunjung Museum Kata Andrea Hirata ada tiga macam golongan. Pertama, mereka yang menggemari literatur khususnya Laskar Pelangi dan ingin menyelami lebih jauh sudut-sudut pemikiran pengarangnya. Kedua, mereka yang ingin menambah koleksi foto Instagram atau sekedar mencari bahan untuk update potret profil Facebook dan WhatsApp. Dan ketiga, saya, yang tidak tahu kenapa ada di sini.
Tiga kali saya pernah berkunjung ke museum ini. Dulu ketika museum ini masih dipagari oleh rumput ilalang, hingga kini ketika dinding batu bata mengurung bangunan utamanya, menghilangkan kesan inklusif. Belum lagi ongkos masuknya sekarang pun jadi mahal sekali, lima puluh ribu rupiah per kepala.
Hanya saja memang Museum Kata Andrea Hirata ini semakin terlihat lebih luas. Ada sebuah bangunan baru yang ditambahkan pada sayap kiri gedung yang lama. Di sana daun-daun pintu berwarna-warni dipasang di segala sisi, bahkan termasuk di langit-langit. Entah apa maksudnya, saya terlalu kaku untuk memahami seni.
Novel Laskar Pelangi sendiri sudah pungkas saya baca satu dekade silam. Waktu itu memang saya punya hobi melahap habis novel-novel setiap akhir pekan dan tidak dipungkiri memang isi cerita dan gaya tuturan Andrea Hirata begitu menarik. Mengunjungi museum ini secara tidak langsung terasa bagaikan memutar ulang novel tersebut dan memberikan penekanan-penekanan pada karakter tokoh-tokohnya.
Andrea Hirata tidak mendirikan museum di kota besar. Beliau lebih memilih membangun museum ini di desa kelahirannya, Gantong. Museum partikelir ini juga banyak memberdayakan masyarakat sekitarnya. Namun bagi saya yang terpenting adalah bagaimana sosok Andrea Hirata menginspirasi anak-anak Belitung untuk mengejar pendidikan. Karena pendidikan memang pintu keluar dari kemiskinan di tanah ini.