Jejak di Museum Mulawarman

Hujan gerimis membasuh di luar sana nuansanya nyaris tidak terdengar. Ambien museum nan lapang ini dipenuhi dengan alunan musik tradisional Kutai yang menghentak-hentak serasa menggetarkan deretan kaca jendela. Saya berjalan menyusuri lorong-lorong museum yang menyimpan koleksi Kesultanan Kutai yang disimpan di dalam ruang-ruang muram.

Adalah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, gabungan dari Kesultanan Islam Kutai Kartanegara yang menaklukkan Kerajaan Hindu Kutai Martadipura yang mendapuk Tenggarong sebagai episentrum monarki delapan abad silam. Meskipun kedaton tua dari zaman tersebut tidak lagi tersisa, barang-barang peninggalan kesultanan masih banyak yang tersimpan dengan apik di dalam etalase-etalase museum ini.

Ya. Kedaton tua Kutai sudah tidak lagi tersisa. Yang saya susuri ini adalah kedaton baru yang dibangun oleh Sultan Aji Muhammad Parikesit pada tahun 1936. Gedung istana yang dibangun dengan bahan dasar beton ini menggantikan bangunan lama yang sebagian besar strukturnya masih tersusun dari rangkaian kayu ulin.

Setelah Kesultanan Kutai tidak lagi beroperasi pada medio 1960-an, sultan yang bernama kecil Aji Kaget itu tetap tinggal di sini bersama keluarganya hingga akhir hayat. Barulah setelah sang sultan mangkat, bangunan megah ini diambilalih oleh pemerintah untuk dijadikan sebuah museum bernuansa singup yang menyimpan koleksi-koleksi budaya Kesultanan Kutai.

“Jadi sebenarnya kedaton ini cuma digunakan sebagai istana Kesultanan Kutai selama dua puluh enam tahun saja,” terang Pak Hasyim yang duduk di sebelah pintu loket, “Setelah tahun 1960, pemerintahan Kesultanan Kutai sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.”

Dekadensi kekuasaan yang sebenarnya ingin dihindari Sultan Parikesit memang tidak terbendung. Republik ini terlampau kuat untuk dapat mengakomodasi kepentingan monarki-monarki di bawahnya. Raut serba suram akan kekuasaan yang berakhir begitu saja sebenarnya sedikit banyak ikut tercermin di dalam ruang-ruang museum ini yang nampak lusuh tidak terawat.

Pada bagian tengah museum terlihat dua maket Candi Borobudur dan Candi Prambanan, entah apa maksudnya. Kemudian pada salah satu ruangan tersimpan banyak keris peninggalan sultan yang nampaknya dihadiahkan oleh para bangsawan dan pejabat dari Jawa. Selebihnya koleksi terlihat campur aduk antara keinginan untuk memajang peninggalan kesultanan dengan mencitrakan nasionalisme kepada republik. Entahlah. Padahal saya rasa museum ini punya potensi besar yang tidak termanfaatkan.