Diksi di Museum Proklamasi

Bagi Maeda kata-kata “perebutan kekuasaan” terlampau keras. Sang laksamana khawatir apabila kata-kata tersebut nanti akan disalahartikan masyarakat untuk menjarah sisa-sisa nafas terakhir Jepang di nusantara. Setelah berdebat sengit di meja makan rumah itu, akhirnya mereka sepakat untuk menggunakan istilah lain, yaitu “pemindahan kekuasaan”.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain,
diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Pungkaslah hari yang melelahkan teruntuk Sang Laksamana di larut malam itu. Maeda menyudahi perdebatan dengan masuk ke kamar tidurnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Rumah dua lantai Sang Laksamana yang terletak di Jalan Imam Bonjol itu kini masih terawat. Lantai batunya yang bersih menyiratkan suasana dingin dan dinding putihnya dihiasi ornamen jendela berwarna kuning gading. Rumah pejabat tinggi Jepang itu kini menjadi sebuah museum paling ikonik di Jakarta.

Naskah proklamasi berukuran raksasa tercetak di depan ruang tamunya, menghadap ke teras luar. Sementara di dalamnya terdapat meja besar tempat naskah proklamasi Republik Indonesia dirumuskan, lengkap dengan patung-patung tokoh nasional yang duduk melingkar seakan-akan sedang mereka ulang peristiwa historis pada malam itu.

“Jarang ada yang ke sini,” ucap si bapak penjaga, “Biasanya ya cuma di hari minggu saja. Tetapi agak siang nanti. Kalau pagi begini masih sepi.”

Jujur saja, pagi itu Kirana bersama saya hanyalah berniatan menikmati car-free day, namun entah mengapa rencana semula melebar ke mana-mana hingga akhirnya kami pun malah mengunjungi museum-museum di ibukota. Berikutnya, Kota Tua tentu saja.