Pak Mateos Anin mengangkat kedua tangannya kemudian berbicara lantang di dalam linguistik yang tidak saya pahami. Di bawah juluran ranting-ranting tebal pohon renta yang ada di puncak Gunung Mutis itu sang tetua suku mengawali ritualnya. Rombongan Polres Timor Tengah Selatan duduk bersila menghadap ke arah pohon sembari mendengarkan seksama setiap patah kata yang terlontar dari bibir kepala suku.
Saya mengamati hal tersebut dari jauh lantaran tidak ingin mengusik ritual mereka. Sebuah tampah besar berisi makanan beraneka warna diletakkan di hadapan pohon kemudian kemenyan dibakar di atasnya, menebarkan bau semerbak yang berbaur dengan petrikor. Pak Anin berhenti berkata-kata, suasana pun mendadak menjadi redam dalam hening. Senyap.
Beberapa saat padang rumput Gunung Mutis terasa begitu senyap. Tetes-tetes gerimis yang membasuh padang ilalang ini sedari tadi tampak turut mereda seiring dengan pungkasan Pak Anin melipat kedua tangannya. Saya berada di barisan paling belakang mengamati seluruh ritual dituntaskan dalam waktu setengah jam, kemudian hening.
Adalah hela napas lega yang terlepas begitu saja menjadi pemecah kesunyian. Ritual pun resmi berakhir. Setiap peserta bangkit dengan penuh senda gurau. Saya mengambil beberapa gambar dan menghampiri Pak Anin yang nampak berdiri di bawah pohon.
“Sudah selesai, Pak?” tanya saya yang dijawab dengan senyuman lebar, “Boleh saya foto?”
“Mau apa kau foto kami di bawah pohon ini seperti monyet?” jawab Pak Anin sembari tertawa keras-keras.
Boleh dibilang saya beruntung, tidak semua pelancong yang singgah di Fatumnasi berkesempatan untuk mengikuti ritual Suku Mollo seperti ini. Meskipun tidak memahami maknanya dan tidak sanggup mengikuti ritualnya, alih-alih mengabaikan, Pak Anin justru mengajak saya untuk turut serta di dalam perjalanan penuh pesona ini.
Gerimis mereda. Namun langit masih pekat. Beberapa nasi kotak dikeluarkan dari mobil milik Pak Kapolres yang menandakan bahwa inilah saatnya makan siang di padang Mutis.