Ransel puluhan kilogram tidak mencegah saya berlari kencang menyusuri lorong dermaga. Suara mesin kapal yang menderu memantik insting pejalan jauh ini. Ilham, nelayan muda sebaya yang berdiri di atas dek kapal motor itu, terlihat sibuk melepaskan ikatan di tonggak dermaga.
“Balik kampung? Derawan? Boleh numpang?” terbata-bata saya bertanya. Sulit menyusun kalimat Bahasa Indonesia yang komprehensif dengan napas tersengal-sengal seperti ini.
Ini Tanjung Batu, dusun terakhir di ujung daratan Kalimantan Timur. Di seberang sana, Taman Nasional Derawan dan Sangalaki, sebuah surga tropis yang jaraknya hanya selemparan celana dalam. Setiap sore pukul lima biasanya ada beberapa nelayan yang kembali ke kampung Derawan setelah mengisi logistik di daratan Kalimantan. Memanfaatkan informasi seadanya ini, saya berkenalan dengan Ilham.
Ilham mengantar saya ke Derawan cuma-cuma. Meskipun hanya mendapatkan tempat duduk yang cukup untuk setengah pantat, saya berhasil tiba di Derawan tanpa mengeluarkan satu rupiah pun. Tiga puluh menit perjalanan menerobos lautan yang tenang, dipungkas dengan perhentian di cerocok lapuk.
Derawan desa yang makmur. Hampir semua penduduknya mempunyai pekerjaan, entah sebagai nelayan atau pemilik penginapan dan restoran. Tidak mengherankan, sebab sejak diliputnya Derawan di sejumlah media beberapa tahun silam, popularitas surga tropis ini meroket luar biasa. Bukan hanya mendongkrak popularitas kampung, namun juga membuka mata pencaharian baru bagi warganya.
“Kamu bisa menginap di tempat Haji Ismail,” saran Ilham merekomendasikan salah satu penginapan di pulau kecil itu. Murah, katanya, tidak sampai seratus ribu rupiah semalam.
Langit sudah nyaris gelap, fokus pertama saya hanya satu, menuju ke tempat Haji Ismail.