“Matilah kita,” demikian pikir saya seraya menggenggam kamera erat-erat ketika gelombang setinggi dua meter menghantam dinding kiri perahu kayu yang kami tumpangi. Perahu mungil itu oleng ke kanan kemudian terhempas balik ke kiri nyaris menumpahkan seluruh isinya ke lautan lepas Selat Sunda. Satu kali dan kemudian satu kali lagi.
Perairan Pulau Sebesi yang sedemikian tenang seketika berubah menjadi liar tidak lama setelah kami berlepas menuju ke Kalianda. Di pasase sempit Selat Sunda inilah gelombang kencang Samudera Hindia menggelora seakan semakin menjadi-jadi tatkala memasuki leher lautan yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ini.
Seseorang nampak mengumpat ketika perahu kayu kembali terpelanting diiringi suara berderak keras sekali. Sementara Adi yang duduk di sebelah saya sibuk berdoa. Perjalanan macam apa ini?
Setengah jam lamanya kami rombongan besar yang terdiri atas dua perahu ini terombang-ambing dihajar kerasnya gelombang laut. Perahu yang semula berjalan beriringan menjadi terpisah ratusan meter di laut lepas lantaran masing-masing terhempas oleh ombak ke arah berbeda. Yang terus terang mencetak wajah-wajah pucat di muka setiap penumpangnya.
Seisi perahu hanya bisa bersyukur ketika kami memasuki perairan yang tenang. Deru mesin kapal terdengar merepet seakan-akan hidup segan mati tak mau. Namun satu hal yang pasti, tantangan terburuk sudah lewat.
Barangkali saya termasuk yang paling tenang apabila dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Beberapa di antara mereka nampak panik dan berpegangan ke tiang-tiang kayu kapal, sementara saya malah sibuk mengabadikan gambar lautan yang mengganas. Meskipun tidak banyak yang dapat saya rekam dalam goncangan brutal itu, setidaknya sekarang saya punya dokumentasi yang unik. Ah, dasar Selat Sunda!