Kalau bukan lantaran obrolan warung kopi dengan Cak Riswanto, besar kemungkinan saya abai dengan keberadaan pertunjukan kabaret yang satu ini.
Namanya Oyot Godhong, bak pertunjukan panggung ala Pattaya, tontonan utama di tempat ini adalah para bencong kaliren berbody luhur. Sayangnya hari itu saya tidak berkunjung pada hari di mana mereka melakukan pertunjukan kabaret, hanya saja saya masih bisa menghibur diri dengan menyaksikan gladi resik untuk pertunjukan mereka esok.
Secara harafiah, Oyot Godhong bermakna akar daun. Entah pemaknaan filosofis apa lagi yang berusaha mereka capai dengan penamaan ini dalam relasinya dengan kabaret. Malam itu, saya bersama Baizurah dan Lot mengunjungi sarang para ladyboy ini di lantai atas Mirota Batik, atau tepatnya di Restoran Raminten.
Meskipun malam itu tidak ada pertunjukan, namun saya cukup berpuas hati karena para aktris transgender ini sedang mengadakan gladi resik. Jadilah kami makan sembari menonton latihan akhir mereka sebelum pentas esok.
Ternyata tidak hanya menari dan menyanyi, para ladyboy ini juga menghibur penonton dengan melakukan atraksi ekstrim seperti memanjat tiang tanpa pengaman meskipun memakai rok!
Butuh beberapa saat untuk menjelaskan kepada Baizurah dan Lot bahwa Indonesia sedemikian beraneka ragam hingga kadar konservativisme di setiap daerah pun berbeda-beda, “Yogyakarta memang dikenal moderat, apabila pentas seperti ini di daerah lain seperti Jawa Barat atau Aceh maka salah-salah boleh jadi keributan.”
Memang. Indonesia itu warna-warni, termasuk standar moralnya. Siapa sangka bahwa di jantung budaya Jawa yang santun ini terdapat pertunjukan ala Pattaya? Luar biasa, kan?