“Dua ratus ribu!” kata Pak Antoni membuka harga ketika melihat kami menanyakan perihal perahu yang akan berangkat ke Pulau Kemaro dari lapangan Benteng Kuto Besak.
“Seratus ribu!” kata Khairi mencoba menawar dengan setengah ngasal.
Setelah melalui perdebatan yang pelik, akhirnya kami pun sepakat di angka seratus tiga puluh ribu. Harga yang relatif murah untuk perahu penyeberangan menuju ke Pulau Kemaro, meskipun dari sudut pandang kami itu termasuk mahal pasalnya kami hanya berdua. Rata-rata perahu penumpang yang berangkat dari Benteng Kuto Besak ke Pulau Kemaro sanggup menampung hingga lima belas orang.
Antara Kota Palembang dan Pulau Kemaro dipisahkan sebuah kawasan industri berat. Di sanalah pabrik-pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina seakan memamerkan kedigdayaan dengan membangun sentra industri-industri berskala raksasa di ambang Sungai Musi. Selepas dari kawasan industri itulah nampak sebuah delta di tengah luasan sungai yang mempunyai sebuah pagoda di tengah-tengahnya.
Pada Pulau Kemaro inilah terdapat sebuah makam seorang putri bernama Siti Fatimah. Legenda dari Klenteng Hok Tjing Rio mengungkapkan bahwa pada masa lampau datanglah seorang pangeran muda Tiongkok ke tanah Palembang bernama Tan Bun An, bukan Tambunan, kalau Tambunan sih nama orang Batak. Dari situlah, sang pangeran kemudian menjalin cinta dengan putri sultan Palembang.
Konon keduanya tenggelam di Sungai Musi ketika berusaha mengangkat guci-guci berisi emas yang terbenam di dasar sungai. Untuk mengenang mereka dibangunlah sebuah kuil dan makam di pulau ini.
Siang itu pagoda Pulau Kemaro tak dibuka. Tergembok rapat. Jadilah kami hanya dapat menikmati keindahan bangunan artistik ini dari bawah, sembari mengamati aktivitas para peziarah yang berkumpul di sekitar. Selain terdapat sebuah klenteng, kawasan ini juga mempunyai sebuah food court yang berisi warung-warung penjual makanan ringan dan minuman.
“Kita cuma punya waktu setengah jam,” celetuk saya kepada Khairi yang ditanggapi dengan terkekeh, “Setelah ini kita harus kembali ke Kota Palembang, tetapi bagaimana kalau kita turun di seberang ulu saja? Cobain ke Kampung Al-Munawar, mungkin ada sesuatu yang menarik di sana.”
Jadilah kami mengawali sebuah perjalanan impromptu ke Kampung Arab.