Tanyakan kepada mesin pencari tentang Natsepa. Maka dua hal yang dijawabnya, rujak dan hotel. Siang itu Norris membawa saya ke sana bukan untuk keduanya. Kami hanya mampir untuk melihat beningnya air laut dari pantai nan masyhur di Ambon itu.
“Seberang sana itu Lease,” kata Norris menunjuk ke seberang, “Apabila kamu sering dengar orang-orang Maluku yang berlogat melengking di televisi. Ya itulah mereka. Orang Haruku dan Saparua.”
Natsepa tersimak bagai lukisan cat air. Pantai dengan laut bening dan pasir putih ini pada siang itu tidak punya pengunjung. Hanya Norris dan saya yang kebetulan lewat dan menjadikan tempat ini sebagai salah satu persinggahan wajib di Ambon.
Ombaknya bergerak malu-malu. Sesekali kapal besar mengangkut gelondong-gelondong kayu menghiasi pemandangan Teluk Baguala. Saya berjalan kaki menikmati pemandangan laut yang memukau di tengah panasnya siang di Ambon. Enak dilihat namun tidak enak dirasakan.
“Ke rumah saya dulu di Passo,” ajak Norris. Passo adalah sebuah desa yang menjadi leher Ambon. Apabila anda membuka peta Pulau Ambon dan melihat celah daratan sempit di bagian timur pulau, itulah Passo.
Norris tinggal bersama keluarganya di Passo. Hari ini kami berencana untuk bermotor mengitari seluruh sudut pulau, dari sentral kota Ambon hingga pucuk Leihitu. Namun sebelum memulai penjelajahan sehari penuh, saya akan bertamu ke rumah keluarga Norris. Biarlah Natsepa menjadi titik awal perjalanan ini.