Sebatang kayu menjadi totem tunggal di pesisir pantai Waisai siang itu. Saya berjalan seorang diri menyusuri pasir putihnya yang membara, langit begitu cerah, dan matahari pun bersinar dengan bebasnya. Bagi saya semua perjumpaan pasti diakhiri dengan perpisahan, tidak terkecuali untuk perjalanan ke Raja Ampat kali ini.
Jikalau mau dijereng di sini, maka daftar keinginan ini tiada habisnya. Masih banyak sudut-sudut Raja Ampat yang rasanya belum sempat saya jelajah, cumbu, dan abadikan. Tetapi di atas semua komoditi, ketersediaan waktu tetaplah merupakan hambatan terbesar.
Raja Ampat mempertemukan saya dengan Pak Jajang, guru Bahasa Inggris yang membawa saya menyusuri sudut-sudut terdalam kehidupan masyarakat Waisai. Kami tak sengaja bertemu beliau ketika sedang duduk-duduk mencari tempat bernaung di masjid. Siapa boleh sangka.
Yang jelas, Raja Ampat menggoreskan kenangan mendalam di barisan catatan perjalanan saya di nusantara. Bukan saja lantaran alamnya yang memukau tiada tanding, namun juga segala bentuk persahabatan dan ramah tamah yang hadir di sana.