Lintas Negara Tanpa Paspor

Tanah di taman itu sedikit ditinggikan dari sekitarnya. Di sebelahnya terdapat sebuah tugu setinggi manusia dewasa yang masing-masing sisinya bertuliskan Team Survey Indonesia dan Australian Survey Team. Tidak terlihat adanya penjelasan mengapa bukan Papua Nugini, melainkan Australia, yang terlibat di dalam survey penentuan garis batas kedua negara ini. Namun setidaknya saya bisa menerka-nerka.

Di sisi Indonesia terdapat sebuah taman dan jalan raya beraspal yang mengular delapan puluh kilometer hingga ke Kota Merauke, sementara di sisi Papua Nugini hanya terdapat hutan dengan jalan setapak yang dapat dibayangkan pasti sangat berlumpur ketika diterjang hujan. Lebih dari itu, tidak terlihat apapun di seberang sana. Bahkan tentara perbatasan Papua Nugini pun sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.

Saya melangkahkan kaki masuk ke wilayah Papua Nugini. Tidak ada yang menghentikan saya, tidak ada perlintasan di tapal batas, dan tidak ada pemeriksaan paspor sama sekali. Negara Papua Nugini seakan-akan dihamparkan begitu saja sehingga orang-orang dari negara tetangganya ini bisa keluar masuk dan berbuat sesukanya di sana tanpa mereka pedulikan, selebihnya hanya ada hutan menghampar.

“Sebenarnya ada tentara Papua Nugini yang berjaga,” ucap Pak Yanto yang duduk-duduk di Taman Sota siang itu, “Tetapi mereka ada di Kampung Weam, sekitar lima belas kilometer masuk ke sana. Kalau di perbatasan sini tidak ada, mereka membebaskan orangnya untuk keluar masuk perbatasan.”

Di sisi Indonesia pun sebenarnya juga diizinkan bagi suku-suku perbatasan Papua Nugini untuk masuk ke wilayah republik ini asalkan tidak keluar dari Sota, alias hanya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Sota saja. Biasanya orang-orang Papua Nugini datang dari distrik-distrik perbatasan dengan menggunakan sepeda, menyusuri jalan setapak hutan yang masih liar ini.

Seorang bapak setengah baya berkulit hitam legam mengendarai sepeda butut nampak mendekat dengan kencang. Nampaknya beliau adalah salah satu dari suku yang mendiami Kampung Wean di sisi Papua Nugini. Saya melambaikan tangan kepadanya dan bapak itu membalas dengan seringai lebar namun sama sekali tidak melambatkan kayuhan sepedanya.

Satu yang hilang dari perbatasan Sota ini adalah aktivitas ekonomi khas perbatasan. Entah mengapa. Teringat pengalaman saya di Napan, setahun silam. Kala itu dua kampung yang berbatasan di antara Indonesia dan Timor Leste begitu ramai dengan lalu lintas penduduk dari dua arah untuk saling berdagang. Namun di Sota, di seberang sana hanya terlihat tanah dan hutan yang membisu.