Pasar Terapung Lok Baintan

Serombongan perahu bersesak-sesak, terapung perlahan demi perlahan berlepas pada aliran semenjana Sungai Martapura di kala matahari masih belum sepenuhnya menampakkan diri. Saya berdiri berpegang pada seutas kabel baja Jembatan Lok Baintan menatap jauh. Rombongan, seratus entah dua ratus, perahu lamat-lamat muncul dari balik kabut tipis di hulu sungai.

Pemandangan setiap pagi di paparan Sungai Martapura inilah pasar terapung. Ratusan perahu pedagang berlalu lalang di tepian sungai, menjajakan barang kebutuhan sehari-hari.

Pukul setengah lima pagi, Indra dan Adit sudah menjemput Aci dan saya untuk berkendara ke Lok Baintan. Dengan sepeda motor yang digeber kencang, kami menembus jalanan berbatu dari kota Banjarmasin ke sudut-sudut perkampungan. Tujuannya satu, mencegat kedatangan rombongan perahu pasar terapung.

Pasar terapung ini sudah ada semenjak era Kesultanan Banjar. Ia ada karena sebuah keniscayaan, bukan lantaran usaha pariwisata laiknya yang ada di Samut Songkhram.

Menariknya, pasar terapung di Banjarmasin ini masih karib dengan sistem barter. Jadi jangan heran apabila aktivitas jual beli rambutan bisa dibayar dengan pisang, dan sebaliknya. Tidak ada standarisasi kurs mata uang pisang atau mata uang rambutan tentunya, harga barter ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak.

“Ayo kita sewa perahu untuk ke bawah,” ajak Indra tiba-tiba. Aci dan saya spontan langsung menganggukkan kepala, kami bertiga turun ke bibir sungai sementara Adit lebih memilih untuk ngeteh di tepian. Satu sampan sudah cukup untuk tiga orang, meskipun itu artinya kami harus mendayung sendiri.

Di tengah kerumunan para pedagang Sungai Martapura ini, Indra mendayung sampan sementara kami berdua sibuk mengambil gambar. Namun itu semua tentu belum selesai, karena kami harus membeli sesuatu.