Rizal kembali memangkas lintasan, kali ini sepeda motor tua itu menerabas rerumputan tinggi di sebalik bukit yang sebenarnya sudah setengah gundul. Entah sudah seberapa banyak jalur yang kami pintas hanya lantaran berkejaran dengan gerimis.
Cuaca memang sedang tidak pasti. Tidak terkecuali di ambang Laut Natuna.
Motor berkelok. Menemui turunan curam. Kemudian dipacu terlampau kencang hingga akhirnya kami nyaris terperosok di hamparan pasir putih kecoklatan yang mengular, Pantai Pasir Panjang.
“Hari minggu pantai ini ramai,” terang Rizal, “Banyak pengunjung ke sini dari Pontianak. Mereka biasanya juga menginap di hotel yang ada di tepi pantai sana.”
Meskipun terlihat senyap. Pantai Pasir Panjang didukung oleh akomodasi yang lengkap, mulai dari hotel hingga sewa perahu. Mulai dari taman bermain hingga diskotik. Ditakar dari investasi yang terlihat di tempat ini, cukup masuk akal andaikata saya percaya dengan penjelasan Rizal.
“Saya tahu, kamu pasti tidak terlalu suka dengan tempat wisata seperti ini,” celetuk Rizal seakan membaca isi pikiran saya, “Nah, di balik sana ada desa nelayan. Mungkin kita bisa melihat lebih banyak dari tempat itu.”
Kami berjalan menyusuri pasir pantai yang masih basah karena gerimis. Gerimis memang belum berhenti namun kami berdua seakan tidak peduli. Apapun itu, kami harus memanfaatkan ruang waktu yang sempit kunjungan ke Singkawang ini untuk mendekatkan diri ke alamnya.
“Singkawang pasti sebentar lagi bakalan jadi kota yang besar,” timpal saya memecah keheningan perjalanan kami, “Potensi ada, investasi terbuka, dan saya yakin semuanya hanya soal waktu.”