Hanya Juan Van den Berg, seorang anak londo berusia sembilan tahun, yang selamat dari tebasan parang Pattimura. Serbuan Laskar Kakehan menewaskan seluruh penghuni sitadel Duurstede terkecuali seorang anak laki-laki putra kesayangan sang residen.
Pattimura ditangkap. Bersama teman-temannya, mengakhiri hidup di tiang gantungan. Salah satu hikayat lokal mengisahkan bahwa tali gantungan tersebut sempat putus ketika digunakan untuk mengeksekusi Philip Latumahina yang bertubuh tambun sehingga Belanda terpaksa mengulang eksekusinya.
Meskipun sebagian kisah hidupnya samar-samar, ihwal sesiapa dirinya, Pattimura adalah ikon yang tidak terbantahkan bagi Maluku. Tanyakanlah kepada orang-orang di seantero nusantara, besar kemungkinan mereka tahu siapa nama pahlawan di lembaran uang seribu rupiah itu.
Lain riwayatnya dengan Christina Martha Tiahahu, gadis tujuh belas tahun yang turut dalam perjuangan Pattimura. Ia adalah satu-satunya pentolan pemberontakan yang tidak dihukum mati, Belanda memilih mengasingkan gadis ini ke Jawa. Namun di dalam perjalanan kapal Eversten menuju pengasingan, Martha menolak untuk makan hingga meninggal dunia. Jenazahnya dilarung di Laut Banda.
Sekarang patung kedua pahlawan besar Maluku itu berdiri di kota Ambon. Patung Pattimura mengangkat parang berada di jantung kota, sementara patung Martha membawa tombak berdiri tegak menatap jauh ke Teluk Ambon.
Sore itu saya bersama Norris duduk di sisi patung Christina Martha Tiahahu, dari atas Bukit Abubu saya memandang jauh ke kota Ambon. Pembangunan Jembatan Merah-Putih terpapar di sisi kota yang dahulu menjadi episenter konflik etno-religi ini. Saya merasakan Ambon kembali berdenyut kencang.