Payung Geulis Tasikmalaya

Dari sisi lain jendela kusam Lodaya, bapak itu berusaha menarik perhatian penumpang dengan memutar-mutar payung warna-warni. Saya yang sedari tadi hanya menatapnya lama-lama tidak tahan juga untuk membidikkan kamera. Satu dua jepret mengabadikan atraksi gratisan yang kerap kambuh di Stasiun Tasikmalaya ini.

Payung Geulis namanya. Ikon dari Kota Tasikmalaya yang sejujurnya sudah nyaris punah dimakan zaman. Pada era kolonialis londo, nona-nona Belanda gemar menentengnya dalam perjalanan ke pasar. Payung yang disusun dari bahan kombinasi kain dan kertas ini juga sempat berjaya beberapa saat pasca-kemerdekaan, namun setelah itu meredup entah ke mana.

Ada yang bilang bahwa payung-payung plastik pabrikan menjadi biang keladi pudarnya payung geulis dari peredaran. Entahlah. Namun apabila mau jujur memang payung-payung modern jauh lebih praktis dan tahan lama, lantaran pun nilai estetikanya boleh dibilang jauh lebih rendah dibandingkan dengan payung tradisional Tasikmalaya ini.

Payung geulis masih terus diproduksi di sentra-sentra kerajinan masyarakat Tasikmalaya. Rangka payung ini biasanya disusun dari buluh-buluh bambu yang kemudian direkatkan dengan kanji agar menempel dengan kertas dan kain penampangnya. Setelah dilumuri kanji, payung ini dijemur hingga mengeras dan dilukis dengan berbagai motif.

Pada mulanya payung geulis banyak bermotif bangun ruang, seperti garis corat-coret dengan berbagai bentuk. Namun lambat laun motifnya bergeser menjadi lukisan-lukisan cantik, seperti bunga dan burung. Dapat dimaklumi sebab keberadaan payung geulis pun mulai bergeser dari sebuah kebutuhan menjadi koleksi seni budaya Sunda.

Peluit kereta berbunyi kencang, tanda perjalanan saya melintasi paparan selatan Pulau Jawa akan segera dilanjutkan. Saya menatap lekat-lekat ke bapak yang turut menyudahi tarian payungnya. Kereta kembali melaju, bapak itu menekuk wajahnya dan membereskan payung-payungnya dengan penuh kecewa, lagi-lagi tidak seorang pun membeli dagangannya.