Bersandar di Bakauheni

Kapal bersandar di Bakauheuni ketika hari masih gelap. Namun kami turun ketika matahari sudah terbit. Singkatnya, antrean yang panjang cukup menyita waktu untuk turun dari kapal. Dua mobil angkot yang kami sewa sudah menunggu di ambang pelabuhan, bersiap untuk membawa anak-anak Jakarta ini menggapai Kalianda.

“Itu Menara Siger,” terang bapak sopir angkot kepada saya yang duduk di bangku depan, “Siger itu lambang daerah Lampung. Dipasang di rumah-rumah dan di monumen-monumen. Termasuk Menara Siger ini perlambang titik nol Sumatera dari selatan.”

Tatkala daerah-daerah lain memilih perkakas maskulin sebagai ikon daerahnya, semisal keris atau tombak, Lampung justru bangga dengan siger yang feminim. Siger sejatinya merupakan mahkota pengantin wanita di dalam adat Lampung dan lazimnya memiliki tujuh atau sembilan tanduk.

Angkot digeber melintasi lintas Sumatera yang masih sepi. Jalan raya yang masih basah lantaran hujan semalam membuat debu-debu jalanan tidak berterbangan seperti biasanya. Alhasil perjalanan yang kami tempuh pada pagi itu terasa jauh lebih menyenangkan lantaran saya bisa membuka jendela tapi rasa was-was debu akan masuk.

“Sekitar satu jam saja kita akan sampai di Kalianda,” cetus bapak sopir angkot yang dari tadi nyerocos terus tanpa diminta, “Jadi kalian bisa langsung berangkat dengan kapal-kapal yang berangkat dari dermaga pagi ini.”