Lengan-lengan tua Pak Morris mengayunkan sebilah cangkul ke tanah berlumpur. Saya mengerlingkan wajah sembari mengangkat telapak tangan untuk menghalau cipratan lumpur yang menyembur ke mana-mana. Sembari mengapitkan sigaret ke bibirnya, Pak Morris mengulangi sekali lagi dan kali ini tanah setengah basah kembali terciprat ke segala arah.
Penekindi Debaya, alias “Membangun Daerah”, demikianlah slogan Kabupaten Nunukan. Memang sebagai kabupaten terluar republik ini terdapat ekspektasi berlebih ihwal pembangunan belakangan ini. Tidak salah. Nunukan memang sedang berlari, atau lebih tepatnya dipaksa berlari.
Pak Morris adalah salah satu yang menerima berkah dari deru pembangunan di Nunukan. Berangkat dari kampungnya di pedalaman Tanah Tidung, beliau membawa anak istrinya pindah lebih ke pinggir Indonesia. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan bagian dari kue pembangunan yang sedang digaung-gaungkan di zona perbatasan.
Melihat kemegahan Islamic Center Nunukan yang berdiri di ambang lautan, memang gerak roda pembangunan demikian terasa. Tidak berhenti sampai di situ. Pembangunan Christian Center Nunukan di seberangnya yang tidak kalah megah juga menjadi semacam simbolisme keanekaragaman bangsa di tapal batas. Belum lagi menghitung pembangunan kantor-kantor pemerintahan seperti yang sedang digarap oleh Pak Morris ini.
“Dulu akses jalan saja di sini susah,” kenangnya sembari melanjutkan cangkulannya, “Sekarang di sini jalan sudah beraspal mulus. Bahkan di seberang Pulau Sebatik sana pun akses jalan sampai ke Sei Nyamuk sudah terbuka bagus, malah sekarang bagusan punya kita daripada punya tetangga (Malaysia).”
Tidak diketahui sejak kapan Nunukan bersolek. Namun ditilik dari ucapan Pak Morris nampaknya hal tersebut terjadi belum lama, atau setidaknya sepuluh tahun belakangan. Sore itu saya berdiri di atas sebuah bukit yang mengatapi Kota Nunukan, seliwer lalu lintas kalang kabut seakan menjadi penanda denyut ekonomin yang terus berputar. Sementara Pak Morris tetap mencangkul.