Perih. Saya menatap lekat-lekat kedua lengan yang memerah legam. Siraman matahari bagaikan jerangan di atas hot plate. Dan ini baru hari kedua saya berada di Raja Ampat.
Di cekungan teluk ini, kami menyandarkan perahu lapuk yang sedari pagi menemani perjalanan dari pantai Saleo yang landai hingga ke pantai di pulau entah apa namanya ini. Siapa peduli. Imaji tentang hampar perairan bening yang melayang di angan-angan saya sepanjang perjalanan dari Jakarta nampaknya benar-benar terwujud di tempat ini.
Cahaya matahari memantul berkerlap-kerlip di perairan yang terkurung baris-baris bukit. Selepas Waisai, Raja Ampat selalu tampil dalam gambaran yang sama. Sunyi senyap.
Bagaimana tidak sunyi, Raja Ampat menaungi wilayah seluas 40.000 kilometer persegi alias seluas provinsi Jawa Timur, sementara jumlah penduduknya sekitar 45.000 jiwa, sedikit lebih banyak dari Kelurahan Cipulir. Meski demikian, Raja Ampat bukan barang baru. Sisa-sisa peninggalan berupa cap tangan prasejarah di dinding batu karang berusia lebih dari lima ratus abad silam.
“Biasanya orang memang betah berlama-lama di sini,” celetuk Pak Inyong, “Tiduran di pasir putih sepanjang hari tanpa beban pikiran.”
Raja Ampat tidak hanya bebas polusi, namun juga menyimpan kekayaan luar biasa. Seribu lima ratus spesies ikan dan lima ratus spesies terumbu karang hidup di tempat ini. Nyaris tiga dari empat scleractinia yang eksis di kolong planet ini hidup di Raja Ampat.
“Saya rasa bukan hanya karena airnya masih jernih,” terang saya mencoba berargumen, “Namun juga secara posisi Raja Ampat dihimpit Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, kontan membuat peluang keragamannya lebih tinggi.”
Pak Inyong hanya mengangguk-angguk. Entah paham atau tidak.