Semeru ada di sana bukan untuk diterabas begitu saja. Ada begitu banyak birokrasi yang harus kami tempuh demi memberangkatkan sebelas anak muda ini ke tinggiannya. Dimulai dari syarat keberadaan perkakas wajib seperti sleeping bag, jaket, sepatu, senter, hingga surat pernyataan kesehatan dari dokter.
“Wah, mas tensinya dua ratus,” keluh mbak jururawat di puskesmas kepada Fauzan satu malam sebelum kami berlepas menuju ke Ranu Pani, “Kalau begini mas nggak dibolehin naik.”
“Yah, gimana donk mbak? Saya besok harus naik nih. Ukur lagi donk. Mungkin tadi tegang jadi tensinya tinggi sekali,” nampaknya Fauzan masih berusaha untuk diizinkan naik meskipun dengan pengukuran harus diulang-ulang.
Gara-gara itu pulalah, Fauzan terpaksa tidak ikut kami makan malam lantaran dia harus menetap di puskesmas untuk menjalani pengukuran ulang dan menerima medikasi darah tinggi. Sisanya kami bersepuluh mencari santapan malam di sekitaran Tumpang yang berakhir di warung bebek goreng di tepi jalan raya.
Malam itu kami menetap di basecamp milik Mas Galuh, seorang pengelola ngalamtrip, organisasi wisata yang sudah lama punya spesialisasi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Memang hanya rumah yang sederhana, namun memadai untuk menampung kami bersebelas, setidaknya untuk berlindung dari cuaca lereng Semeru yang terus memburuk beberapa hari terakhir.
“Besok pagi kita berangkat sekitar pukul sepuluh menuju Ranu Pani,” terang Mas Galuh, “Di sana kalian bersama Pak Sugeng, tuntaskan registrasi, kemudian berangkat pendakian tengah hari.”
Sekilas terdengar sederhana. Namun instruksi pendakian ini tentu saja terasa begitu samar-samar bagi kami yang kesemuanya belum pernah mendaki Semeru. Jangankan Semeru, beberapa orang di tim kami bahkan ada yang belum pernah mendaki gunung sama sekali.
Setelah Fauzan mendapatkan izin dari dokter, kami melewatkan malam di basecamp. Hanya ada satu harapan kami, cuaca esok pagi cukup cerah untuk menaungi pendakian.