Rekam Perundingan Linggarjati

Delegasi Indonesia ditempatkan di dalam kamar-kamar luas berlantai batu. Masing-masing petinggi Belanda dan Indonesia ini mendapatkan sebuah ranjang kecil yang hanya muat untuk satu orang. Tidak demikian dengan Sutan Sjahrir. Sang kepala delegasi ditempatkan di rumah lain, agak jauh dari tempat perundingan dengan maksud agar beliau dapat berkonsentrasi dalam perumusan perundingan.

Schermerhorn dan Sjahrir duduk bersebelahan, membubuhkan tanda tangan di atas secarik kertas. Saya menatap foto tersebut dan melihat bagaimana Belanda masih punya ambisi untuk mengambil kembali negara yang dulu pernah menjadi haknya. Sementara ini Lord Killean dari Inggris berperan sebagai penengah di dalam diskusi tersebut.

Perundingan Linggarjati menghasilkan empat nota kesepakatan, yang masing-masing berisi pembentukan Republik Indonesia Serikat, pengakuan Belanda atas Sumatera, Jawa, dan Madura, pengakuan Indonesia terhadap Ratu Belanda, dan keanggotaan persemakmuran. Keempat poin tersebut dirilis ke publik dan menerima protes keras dari masyarakat Indonesia yang melihatnya sebagai bukti lemahnya diplomasi bangsa.

“Dunia penuh dengan pertentangan, penuh dengan bahaya perjuangan, dunia gelap. Di Indonesia kita menyalakan obor kecil, obor kemanusiaan, obor akal yang sehat yang hendak menghilangkan suasana gelap, suasana pertentangan yang menjadi akibat serta mengakibatkan pula perkosaan dan pembinasaan, suasana sesak serta gelap. Marilah kita pelihara obor ini, supaya dapat menyala terus serta menjadi lebih terang. Mudah-mudahan ia akan merupaka permulaan terang di seluruh dunia,” demikian catat Sutan Sjahrir.

Di balik kontroversi panjangnya, nota kesepakatan Linggarjati tidak bertahan lama. Dua bulan kemudian, Belanda menganulir keputusan yang telah menjadi kesepakatan tersebut lantaran tidak puas dengan komitmen Indonesia dalam menjalankannya. Hal tersebut diakibatkan oleh ketidaksepakatan di dalam pemahaman isi perjanjian.

Di tengah riuh runyam anak-anak sekolah yang menyesaki rumah bersejarah itu, saya menyepi ke sebuah ruangan yang kosong. Di sana terdapat dua buah dipan kecil yang digunakan oleh para delegasi Indonesia dan Belanda pada kala itu. Cahaya matahari menyeruak masuk melalui jendela kaca pintunya yang besar-besar namun kusam.

Pak Rudianto mengajak saya bicara di salah satu sudut ruangan. Menurutnya, Indonesia bisa saja dengan mudah meraih kemerdekaan lebih awal andaikan kita bisa bersatu padu seluruh nusantara memerangi penjajah. “Namun sayangnya, kita bangsa yang terlalu mudah diprovokasi akibatnya kita lebih banyak menghabiskan energi untuk bersengketa satu sama lain,” pungkasnya.