Namanya Labuan Bajo. Sudah barang pasti pada masa silam tempat ini menjadi persinggahan para pelaut Bajo, dengan arak-arakan pinisi, berlayar dari daratan Sulawesi mencapai terminus barat Flores.
Di bawah panasnya matahari siang, sebuah kapal pinisi bersandar di dermaga. Sekelompok pelaut muda bertelanjang dada menapaki lambungnya, menurunkan layar, dan membekaskan siluet nan apik berlatar langit biru menyala yang dihiasi gores-gores kapas putih. Pinisi bukanlah tamu di tempat ini, ia salah satu pesinggah tetap semenjak dahulu kala.
“Bisa disewa kalau mau,” kata seorang bapak tua di sana sambil terkekeh-kekeh, “Biasanya ada bule yang sewa pinisi untuk live on board begitu kata mereka. Jadi tiga malam di kapal itu.”
Pinisi yang legendaris itu memang begitu menarik. Saya tentu saja tergoda pula untuk mencoba berlayar di atasnya, andai saja saya tidak ingat bahwa kami berdua hanyalah pejalan berkantong cekak. Matahari sudah rendah di barat sana. Saya memicingkan kedua mata dan menarik kamera dari saku. Beberapa bidikan memungkas perjumpaan saya dengan kapal eksotis ini.