Dek kapal yang berkarat serasa membara di tengah panasnya siang Banda Aceh. Setiap anak tangga yang saya tapaki mengeluarkan suara berderak-derak memantik rasa was-was. Orang mengenal kapal tanker raksasa ini dengan sebutan PLTD Apung, bekas generator listrik milik PLN Banda Aceh. Raksasa berbobot dua ribu enam ratus ton ini terhempas dari dermaga Ulee Lheu sejauh lima kilometer dan terkandaskan di perkampungan riuh ini sebelas tahun silam.
Kini ia menjadi sebuah monumen tsunami. Berdiri angkuh di tengah-tengah kota, pada tempat yang tidak semestinya, dikelilingi dengan rangkaian taman yang apik dan sebuah tugu peringatan. .
“Bapak, apakah saya diperkenankan untuk masuk?” tanya saya kepada Pak Rochim yang dijawab dengan sebuah anggukan singkat. Saya pun menanggapi izinnya dengan masuk ke dalam tanker.
Kosong. Interiornya luas seperti lapangan futsal. Dinding baja berbalut cat putih menaungi luasan bagian dalam tanker, sementara di ujungnya terpasang dua buah jendela bundar yang berdebu. Saya melangkah mengitari setiap sudut ruangan, merasakan nuansanya yang muram menjalani masa purna tugas.
“Seluruh awak kapal ini tewas. Kecuali satu,” terang Pak Rochim, “Semua sedang turun mencari ikan pada pagi itu, hanya satu orang yang tinggal di dalam kapal. Ketika gelombang tsunami menghempas, di antara awak kapal, hanya dialah yang terselamatkan.”
Tsunami adalah catatan sejarah sebelas tahun silam. Keberadaan tanker PLTD Apung ini tidaklah lagi merupakan sesuatu yang janggal di tengah kerumunan kota Banda Aceh, tidak seperti tahun-tahun awal pasca-tsunami. Sekarang ada sebuah taman apik yang mengelilingi kapal raksasa ini, dengan sebuah tugu peringatan yang diramaikan oleh anak-anak kampung bermain petak umpet.
Sebaris pedagang cendera mata pun mengerumuni ketika saya melangkahkan kaki keluar dari kompleks taman ini. Saya mengabaikan mereka dan berlari kecil membuntuti Pak Rochim yang menjadi pengojek dadakan untuk mengantarkan saya ke dermaga Ulee Lheu. Memang benar tempat ini sekarang adalah destinasi wisata, namun siapa sangka satu dekade silam ia adalah sebuah signatur bencana.